KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
BENCANA DI INDONESIA
HUBUNGANNYA DENGAN SISTEM
PERTAHANAN NEGARA
1. Pendahuluan
Posisi
geografi Indonesia yang menjadi pertemuan lempeng tektonik di barat dan di
timur indonesia, faktor hidroklimatologi dan kerusakan ekosistem, menjadikan wilayah
Indonesia rawan bencana. Dalam definisi yang mengacu pada UN-ISDR (International Strategy for Disaster
Reduction), bencana didefinisikan sebagai “gangguan serius terhadap suatu sistem, komunitas atau masyarakat yang
menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi atau lingkungan yang meluas
melampaui kemampuan mereka (komunitas atau masyarakat yang terkena dampak) untuk
mengatasinya dengan sumber daya mereka sendiri“.
Peran
pemerintah dalam penanganan bencana sangat vital, meskipun dari berbagai unsur
diluar pemerintah juga telah melakukan upaya-upaya menangani masalah bencana sebagai
dukungan kepada pemerintah serta kepedulian sosial. Bencana alam berpengaruh langsung
terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi tugas pemerintah
untuk mengelolanya, karena berdampak sangat kompleks, dapat mempengaruhi stabilitas
ekonomi, politik, sosial, bahkan sampai kepada tegak atau runtuhnya sebuah
negara dan oleh karenanya dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, pemerintah Indonesia
menetapkan landasan hukum yang mengatur mengenai penanggulangan bencana, yang
disahkan pada 26 April 2007 menjadi Undang-Undang No. 24/2007 tentang
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pemerintah berharap dapat meningkatkan
sinergi berbagai pihak dalam usaha penanggulangan bencana dan semua pengaruhnya
di Indonesia, dengan berpedoman kepada undang-undang tersebut. Selain Undang-undang tentang penanggulangan
bencana, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait
langsung dengan penanggulangan bencana, yaitu
PP no 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan bencana, PP No
21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana dan PP No 22 tahun
2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana alam. Mempelajari undang-undang dan peraturan
pemerintah ini, terdapat beberapa permasalahan berkaitan dengan tugas TNI,
terutama dalam operasi militer selain perang (OMSP) , karena beberapa faktor
yang tidak diatur secara jelas dan dapat menimbulkan permasalahan bagi
pelaksanaan tugas TNI dalam penangulangan bencana alam.
2. Tinjauan umum tentang peraturan dan perundangan berkaitan
tugas TNI dalam penanggulangan bencana.
Berkenaan
dengan penanggulangan bencana alam, pemerintah telah menerbitkan undang-undang
dan peraturan pemerintah, antara lain Undang-Undang No. 24/2007 tentang
penanggulangan bencana, Peraturan pemerintah (PP) no 8 tahun 2008 tentang Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), PP No 21 tahun 2008 tentang
penyelenggaraan penanggulangan bencana dan PP no 22 tahun 2008 tentang
pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana.
Undang-undang 24/2007 tentang penanggulangan bencana menyatakan bahwa
BNPB dapat mengerahkan instansi lain termasuk didalamnya TNI, namun demikian
pada PP 21/2008 tentang penyelenggaraan Penanggulangan bencana, mekanisme dan
prosedur permintaan, penerimaan dan penggunaan sumberdaya manusia, alat
peralatan dan logistik dari BNPB kepada TNI dan instansi lain tidak dijelaskan,
termasuk juga tidak dijelaskan mekanisme dan prosedur pelibatan
TNI termasuk bagaimana hubungannya dengan pemerintah daerah. Sehingga dalam penanggulangan bencana, kapan
permintaan dapat dilakukan, berapa kekuatan yang dapat dilibatkan, tugas apa
yang akan diberikan dan kapan tugas tersebut selesai, karena ketentuan operasi
yang dianut oleh TNI selalu memuat pembatasan aspek tugas, waktu dan kekuatan
yang digunakan. Apabila hal ini
diabaikan, maka TNI sebagai institusi telah mengingkari doktrinnya sendiri. Disisi lain, dalam PP no 22 /2008 tentang
pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana, juga tidak mengatur bagaimana peran
dan tugas TNI dalam pendanaan serta pengelolaan bila menerima bantuan. Apabila TNI menggunakan kekuatan dan
sumberdaya lain yang dimiliki, akan memancing munculnya permasalahan baru yang
bertentangan dengan aturan penggunaan anggaran dan dapat dianggap sebagai tidak
sesuai peruntukannya atau bahkan tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena
sejauh ini, TNI tidak memiliki struktur anggaran untuk penanggulangan
bencana. Tanpa ada ketentuan yang
mengatur prosedur dan mekanisme yang jelas dan dilandasi adanya aturan yang
ditetapkan pemerintah, akan menimbulkan kerawanan bagi TNI dan jajarannya,
terutama apabila terjadi korban sebagai akibat melakukan (tugas) penanggulangan
bencana, tanpa dilandasi perintah operasi yang syah.
Dalam
struktur organisasi penanggulangan bencana, TNI menjadi salah satu anggota
pengarah penanggulangan bencana, namun demikian bagaimana TNI melaksanakan
tugas sebagai pengarah tidak dijelaskan. Kondisi seperti ini berpengaruh negative bagi TNI
karena tidak dapat menguraikan tentang siapa, berapa kekuatannya dan apa
perlengkapannya yang harus dan menjadi tanggungjawab TNI untuk diarahkan, apa pengarahan tugasnya, kapan tugas
penanggulangan dimulai dan kapan selesai, dimana tugas tersebut dilakukan,
bagaimana melakukannya dan mengapa tugas penanggulangan bencana dilakukan
(apakah ada permintaan atau tugas yang dinyatakan sendiri), karena semua
mengundang resiko yang harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai aturan yang
berlaku. Tanpa adanya aturan dan ketentuan yang dipedomani, akan menyebabkan
kerentanan terhadap institusi TNI yang dapat mengakibatkan kerugian secara
institusional.
Apabila
dikaitkan dengan aturan yang lain yang mengikat kepada TNI, pada UU 34/2004
tentang TNI, maka pengerahan kekuatan TNI hanya menjadi kewenangan Presiden,
sehingga apabila Ketua BNPB dinyatakan dapat mengerahkan kekuatan TNI, menjadi
sesuatu yang bertentangan. Selain itu,
dalam undang-undang yang sama, bahwa operasi militer selain perang (OMSP) hanya
dapat dilakukan dengan berdasarkan kebijakan politik Negara yang berarti akan
dilakukan oleh TNI setelah kerahkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
3. Peran dan keterlibatan Militer dalam penanggulangan bencana
serta hubungannya dengan system
pertahanan Negara di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (
BNPB) dibentuk sebagai pusat koordinasi bagi berbagai institusi dan lembaga
yang terlibat dan berperan dalam penanganan bencana. Koordinasi antar lembaga
sering kali terbentur oleh masalah birokrasi serta aturan, maka hingga saat ini
sulit bagi BNPB dapat menjadi solusi menyeluruh dari semua permasalahan bencana
di Indonesia. Selain itu, terdapat beberapa
unsur penting dalam sistem pertahanan Negara Indonesia telah dihapus oleh
pemerintah yaitu Pertahanan Sipil (Hansip) dan menjadi faktor penghambat bagi pemerintah /pemerintahan
daerah dalam mengelola sumberdaya pada saat dibutuhkan.
Pertahanan sipil atau Civil defence telah diterapkan di
sebagian besar negara berdaulat, keberadaan dan perannya sangat menonjol dalam
mengantisipasi berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat, terutama diarahkan
kepada upaya mengatasi dan membantu korban bencana dan keadaan darurat sebagai
bentuk bantuan kemanusiaan. Konsep awal
yang digunakan oleh negara-negara tersebut adalah melindungi masyarakat sipil
dari bencana perang dimana kemungkinan timbul korban sipil baik jiwa maupun
harta benda dalam jumlah besar.
Setelah berakhirnya perang dingin, pertahanan sipil (hansip) memiliki
tujuan yang lebih luas dan terfokus untuk menghadapi keadaan darurat dan
bencana secara umum, sehingga konsep operasi kekuatan hansip berkembang dengan menyelenggarakan
program dalam kegiatan menejemen krisis, menejemen darurat, kesiapsiagaan
menghadapi situasi darurat, rencana menghadapi kontijensi, pelayanan
kedaruratan dan perlindungan rakyat
yang diarahkan kepada kegiatan penyelamatan hidup, meminimalkan
kerusakan/kehancuran terhadap properti dan mengelola kesinambungan produksi
industri pada saat terjadi serangan musuh ( dalam situasi perang).
Hansip dibeberapa negara, diantaranya di Negara India, yang dideklarasikan
pada tahun 1962, pada saat negara menghadapi agresi dari negara China dan
berlanjut pada konflik India Pakistan tahun 1965. India memerankan hansip sebagai kekuatan yang
sangat eksis yang disyahkan secara hukum yang ditetapkan pada tahun 1968. Sedangkan di Singapura, hansip juga
terselenggara dengan melatih warga negaranya untuk dapat melakukan tugas
pertolongan, melakukan evakuasi, pertolongan pertama pada kecelakaan dan
pengendalian kehancuran. Singapura
melatih rakyatnya agar terbiasa dengan prosedur menghadapi keadaan bahaya dan
bagaimana melindungi diri yang didukung dengan perencanaan menghadapi bahaya,
bencana dan dukungan darurat untuk rakyat.
Selain itu hansip juga disiapkan sebagai komplemen pada sistem
pertahanan yang diterapkan di negara Singapura. Hansip diberbagai
negara sudah terorganisir secara terstruktur dan menjadi bagian dari kementrian
dalam negeri atau sebagai badan independen yang dilindungi oleh undang-undang,
tugas dan peran yang jelas, program dan anggaran yang jelas yang didukung
sepenuhnya oleh pemerintah.
Di Indonesia, hampir semua rakyat
sudah sangat familier dengan hansip, bahkan semua pegawai negeri, pada hari
tertentu diwajibkan mengenakan seragam hansip dengan monogram didada kiri
tertulis “LINMAS” Namun pengenalan
rakyat Indonesia kepada Hansip mempunyai “konotasi”
berbeda dengan apa yang menjadi peran dan tugasnya dalam sebuah negara,
karena bila menyebut hansip, maka mereka
membayangkan orang berseragam hijau muda, bersepatu lapangan dan berasal dari
kelompok masyarakat menengah kebawah, bahkan cenderung sebagai masyarakat
golongan bawah, yang ditugasi menjaga dan membantu lalu lintas dan keamanan
pada acara resepsi atau acara-acara yang di selenggarakan oleh kelompok
menengah keatas. Peran hansip sampai
saat sekarang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, meskipun hanya
melakukan tugas tugas sepele, mereka selalu hadir pada saat dibutuhkan terutama
pada even-even yang diselenggarakan oleh desa, kelurahan, kecamatan atau pada
resepsi-resepsi yang digelar dilingkungan masyarakat. Namun secara institusional belum memiliki
wadah yang dapat menjamin hansip dapat menyelenggarakan program dengan anggaran
yang jelas yang didukung pemerintah, bahkan cenderung belum terorganisir secara
jelas dan keberadaannya masih terkesan antara ada dan
tiada, karena bila mengacu kepada peraturan Mendagri nomor 40 tahun 2011
tentang Pedoman organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamomg Praja (satpol
PP) , yang ada hanya Linmas yang menjadi
bagian dari organisasi Satpol PP. Parlemen
yang mewakili suara rakyat, sampai sekarang masih menentang rancangan
undang-undang komponen cadangan, sementara peluang yang dimiliki untuk
memerankan rakyat dalam upaya membantu kepentingan rakyat sipil melalui peran
Hansip juga tidak mendapat perhatian.
Sebagai bangsa yang besar dan kaya
layaknya Indonesia, dengan geografi yang berada diposisi silang, permasalahan
bencana dan kedaruratan sangat mungkin terjadi, tetapi pemerintah justru
menghilangkan struktur hansip, yang ada hanya para “LINMAS” yang jumlahnya
jutaan di Indonesia, dengan tugas dan
tangungjawab yang tidak jelas, karena mereka adalah pegawai negeri sipil, tanpa
pedoman pelaksanaan tentang apa tanggungjawab, kapan dan bagaimana bila bertugas sebagai
Linmas. Terdapat indikasi bahwa keberadaan hansip di Indonesia sengaja
disamarkan, seolah terdapat ketakutan atau kecurigaan, karena keberadaan hansip
hanya akan menjadikan mereka sebagai tangan-tangan TNI, padahal dengan menghilangkan struktur civil defence , sangat merugikan negara
dalam bidang pertahanan Negara dan perlindungan terhadap kepentingan sipil
dalam menghadapi bencana.
Sebelum era reformasi, keberadaan hansip sangat jelas dan diakui secara konstitusi
dimana dalam UU no 2 tahun 1988 sangat jelas mengatur tentang hansip. Namun setelah reformasi dan terbit UU no 3
tahun 2004 tentang Pertahanan Negara, keberadaan hansip hilang sama sekali,
padahal pertahanan Negara tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab TNI
tetapi menjadi tugas bersama seluruh komponen bangsa. Dari keadaan ini menjadikan sebuah indikasi
bahwa ada niat dan diimplementasikan dalam penyusunan undang-undang pertahanan
yang dengan sengaja menghilangkan keberadaan hansip, karena anggapan dan
pemikiran yang salah terhadap tugas pertahanan negara, sehingga dengan
hilangnya keberadaan hansip, niat untuk
mengkebiri TNI dianggap berhasil, padahal dengan hilangnya keberadaan hansip,
sangat merugikan negara dari manapun sudut pandangnya.
Buku doktrin pertahanan yang
diterbitkan Kementrian Pertahanan menyatakan bahwa perang dalam arti invasi dan
agressi ke wilayah Indonesia sangat kecil kemungkinannya, namun Indonesia masih
menghadapi banyak permasalahan yang berhubungan dengan perlindungan kepentingan
sipil, berkaitan masih adanya aksi terror, masih ada separatisme, yang
membutuhkan banyak campur tangan pemerintah untuk mengatasinya dan didalamnya
juga membutuhkan kehadiran dan peran rakyat sipil yang terorganisir, sehingga
kegiatannya dapat terselenggara dengan menejemen yang jelas. Demikian juga dengan kemungkinan terjadinya
bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia. Kegiatan kemanusiaan yang diselenggarakan
masih membutuhkan kehadiran kekuatan rakyat yang terlatih dan terorganisir,
baik untuk penyelamatan, pertolongan maupun pengungsian dengan segala aspek
yang muncul dari kegiatan tersebut.
Kegiatan seperti itu mustahil bila hanya dilakukan oleh badan yang sudah
dibentuk pemerintah seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), atau
Badan Search and Resque Nasional (Basarnas), karena keterbatasan jumlah
personel dan peralatan. Belum lagi
menghadapi kendala birokratis bila harus
mengerahkan kekuatan Pemadam kebakaran, sukarelawan Dokter dan para medis,
organisasi radio dan organisasi yang lain yang dibutuhkan dalam mengatasi
bencana.
Akan sangat menguntungkan apabila
organisasi hansip dilembagakan, meskipun hanya dalam bentuk organisasi
kerangka. Melihat pengalaman yang
sudah terjadi dalam penanggulangan bencana, pemerintah telah menyiapkan pasukan
reaksi cepat dari lingkungan TNI yang dalam operasionalnya dibawah koordinasi
BNPB, organisasi inipun sangat terbatas dari tinjauan kebutuhan penanggulangan
bencana. Sedangkan unsur lain yang
terkait dengan penyelamatan rakyat bergerak masing-masing tanpa didukung dengan
menejemen yang memadai, yang menyebabkan mengabaikan efektifitas dan efisiensi
serta menyulitkan upaya kontrol.
Apabila organisasi hansip dilembagakan, meskipun dalam bentuk kerangka,
maka unsur-unsur organisasi yang bertugas operasional dilapangan, dapat segera
diorganisir sesuai dengan kebutuhan dilapangan. Dalam kondisi seperti ini, maka menejeman
menjadi lebih jelas, dukungan jelas sasaran kegiatan jelas, yang memudahkan
pengendalian dan pengawasan. Dalam
operasionalnya, hansip dapat langsung berkoordinasi dengan BNPB tentang
pelaksanaan tugas, sehingga setiap komponen yang bergerak dilapangan dalam
penanggulangan bencana dapat melibatkan unsur-unsur lain yang lebih mudah
berkoordinasi dan bekerjasama. Dalam
kasus lain, hansip yang diterapkan negera lain didunia, memiliki kerangka
struktur “earmark”,
pada setiap bentuk operasi dan secara otomatis bergabung dengan organisasi
operasional, baik menghadapi bencana alam sampai dengan bencana perang serta
kondisi kedaruratan lain dan dapat
menentukan unsur–unsur apa saja yang dibutuhkan dalam mendukung suatu bentuk
operasi yang digelar oleh Pemerintah dan Negara. Oleh karenanya diharapkan, pemerintah dalam
hal ini Kementrian pertahanan, segera menyadari pentingnya elemen Civil defense dalam doktrin dan strategi
pertahanan sebuah negara.
Jika BNPB menjadi pusat koordinasi, maka prosedur dan tata
kerja secara khusus harus disusun dan diterbitkan secara luas, karena berbagai
masalah perbedaan system komando yang berbeda dalam setiap institusi. Sebagai contoh dalam militer berlaku komando
secara tegak lurus, maka dalam situasi apapun, organisasi TNI hanya akan
bergerak dibawah perintah pimpinan instansi, bukan dari pejabat BNPB/BNPBD. Meskipun telah ditetapkan organisasi Pasukan
reaksi cepat penanggulangan bencana, yang ditetapkan pemerintah untuk membantu
penanganan bencana, maka sebagai pusat
koordinasi, BNPB/BNPBD tidak layak memberi komando secara langsung kepada unsur
lain terutama Militer dan hanya dapat dilakukan bila tugas kepada TNI diberikan
secara spesifik, sehingga secara otonomi militer akan mengelola tugasnya tanpa
campur tangan /kendali lain selain
unsure pimpinannya sesuai rantai komando yeng berlalku. Meskipun hasil
pelaksanaan tugas tetap menjadi bahan lapporan dari BNPB/BNPBD, karena dukungan
pembiayaan tetap berada di institusi koordinator penanggulangan bencana.
4. Kebijakan
penanggulangan bencana alam, tidak menyebutkan peran penting TNI sebagai bagian
dalam mitigasi bencana dan aksi penanggulangan lainnya, juga belum mengatur
menejemen penerimaan bantuan. Penanggulangan bencana yang diatur dalam
undang-undang 24/2007, telah menetapkan prinsip dasar penyelenggaraan
penanggulangan bencana dan tahapan-tahapan beserta alur penyelenggaraan dari
tiap tahap. Namun demikian dalam tahap
mitigasi, TNI tidak menjadi bagian dari penyelenggara, sehingga terkesan bahwa
pemerintah sengaja menjauhkan TNI dengan rakyat. Sedangkan apabila mendalami doktrin Militer,
TNI menetapkan pembinaan territorial sebagai salah satu fungsi militer yang dalam
pelaksanaannya dalam mempunyai tugas
untuk melakukan pembinaan geografi dan demografi yang sangat erat kaitannya
dengan penyelenggaraan mitigasi bencana.
Dengan ketiadaan pelibatan TNI dalam tahapan mitigasi, menimbulkan
sebuah persepsi, bahwa seolah-oleh undang-undang ini sengaja diarahkan untuk
mencegah kegiatan militer dalam pembinaan geografi dan demografi sebagai suatu
upaya untuk mempersempit ruang gerak militer terutama dalam pembinaan
territorial. Militer hanya dilibatkan
dalam tahapan tanggap darurat dan rehabilitasi, yang tidak menggambarkan
keterlibatan militer dalam penanggulangan bencana, karena beberapa tahapan penanggulangan,
TNI secara institusional tidak dilibatkan.
Undang-undang tentang penanggulangan
bencana juga hanya membahas mengenai peran lembaga internasional, NGO
internasional dan Perusahaan, namun pembahasannya
tidak secara eksplisit keterlibatan dan peran NGO/LSM lokal dan lembaga-lembaga
kerelawanan. Keadaan ini memancing persepsi seolah yang menyusundraft bukan orang
Indonesia, sehingga dengan pemberlakuan undang-undang ini, secara perlahan akan
melemahkan kemampuan pertahanan Negara.
Selain itu sikap pemerintah yang telah menghapuskan struktur dan
kelembagaan pertahanan sipil di Indonesia, ini juga terkesan dipengaruhi
kekuatan asing.
Dalam hal proses dan prosedur
koordinasi serta kerjasama antara pemerintah dengan NGO atau Lembaga non-pemerintah, terlihat
kurang sinergis dan kurang terkoordinasi karena belum ditetapkan ketentuan yang
mengatur bagaimana NGO atau Lembaga non-pemerintah berkoordinasi dengan
institusi pemerintah, sehingga sangat perlu disusun prosedur dan tata laksana
keterlibatan NGO dan lembaga non pemerintah agar dalam penanggulangan
bencana dapat berjalan efektif tanpa
menghambat peran dan keterlibatan NGO atau Lembaga non-pemerintah yang ingin
memberikan dukungan. Pelaporan
penerimaan dan pendayagunaan sumbangan/bantuan yang dikoordinir oleh pihak non
pemerintah perlu diatur untuk menjamin transparansi dan pengelolaan bantuan. Setiap pihak yang melakukan penggalangan
bantuan wajib melaporkan penerimaan dan pendayagunaan bantuan bencana kepada
publik. BNPB sebaiknya memiliki otoritas
untuk pengesahan laporan pendayagunaan dana/logistik bantuan dari pihak-pihak
lain dan berkewajiban untuk mempublikasikan kepada publik. Bantuan yang tidak
diotorisasi melalui BNPB harus dinyatakan sebagai kegiatan illegal yang
melanggar hukum, sehingga kelompok-kelompok yang melakukan penggalangan bantuan
harus terdaftar dan melaporkan kegiatannya kepada BNPB untuk dilegalisasi.
Penanggulangan bencana merupakan bagian
tugas kementrian pertahanan dalam system pertahanan Negara, oleh karenanya,
diharapkan TNI dapat memberikan saran masukan untuk mendorong pembentukan
kembali struktur Pertahanan sipil dalam system pertahanan Negara, sehingga
perlu penegasan keberadaan pertahanan sipil dalam undang-undang pertahanan atau
disusun secara khusus tentang struktur dan organisasi Hansip di Indonesia,
sehingga peran penyelamatan kepentingan sipil terwadahi dan terdapat organisasi
yang secara khusus melaksanakan tugas yang saat sekarang belum ada awak/organisasi
yang bertanggungjawab.
5. Rekomendasi. Pembentukan BNPB telah menjadi
bagian dari solusi yang diinginkan pemerintah dalam menanggulangi bencana di
Indonesia. Namun demikian, agar
penanggulangan bencana dapat lebih efisien dan resiko korban dapat ditekan
serendah mungkin, maka perlu penyempurnaan dalam Undang-undang ini dan perlu
menyusun aturan lain yang menyertainya, agar semua fihak yang terkait dalam
upaya penanggulangan dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik dan mencapai
hasil yang lebih optimal. Secara luas,
penanggulangan bencana yang berkaitan dengan system lain yang telah ditetapkan
pemerintah sebagai suatu kebijakan Negara,
akan lebih baik bila sumberdaya, sarana/prasarana, infrastruktur yang
dibutuhkan dapat dilengkapi sehingga memberi kemudahan dalam mengkoordinasikan
penanggulangan bencana. Apabila petunjuk
pelaksanaan yang dibutuhkan tidak segera disusun, dapat menyebabkan efisiensi
dan efektifitas tidak dapat dievaluasi atas penyelenggaraan penanggulangan
bencana dan menimbulkan kerawanan lain dibeberapa bidang, terutama rakyat yang
akan menjadi korban.
6. Penutup. Bencana dapat datang kapan saja, tanpa dapat diprediksi
membuat penanganannya membutuhkan keterlibatan semua pihak, namun kerentanan
atas kemungkinan terjadinya korban akibat bencana dapat dikurangi melalui
tahapan mitigasi yang menguntungkan semua fihak. BNPB dibentuk sebagai pusat koordinasi antara
berbagai institusi dan lembaga yang berkaitan dengan penanganan bencana dan karena beban pengelolaan dalam kaitan
penanggulangan bencana ini, akan sangat menguntungkan apabila fihak lain yang
memiliki akses baik sebagai bagian dari tugas atau kewenangan dalam upaya
pengurangan resiko korban, dapat dikoordinasikan lebih luwes oleh BNPB, sehingga dampak yang mungkin timbul dapat
dikurangi dan dapat dikelola lebih awal untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar