created by : Juanda Sy., M.Si (Han)
Suatu
rangkaian sejarah tidak utuh bila masih terdapat satu atau beberapa bagian yang
belum dapat ditemukan. Sejarah dari waktu kewaktu semakin luas cakupannya
dengan berbagai temuan dan berbagai tambahan data yang dikumpulknan oleh para
penyusun sejarah. Beberapa bagian sejarah yang cukup penting untuk dijadikan
bahan tambahan dan sekaligus menjadi bahan kajian adalah Agresi Belanda
terhadap Indonesia pada 19 Desember 1948 yang dalam penuturan sejarah disebut
sebagai Agressi II.
Pada saat itu antara Indonesia dengan Belanda masih terikat dengan
perjanjian Renville, yang berisikan tentang gencatan senjata antara dua negara
yang sedang konflik. Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, namun
Belanda sebagai fihak yang pernah menjadi penjajah Indonesia masih belum
mengakui kemerdekaan Indonesia , sehingga pada saat Jepang kalah perang,
Belanda sebagai bagian dari pasukan sekutu , mengirimkan pasukannya ke
Indonesia dengan seolah –olah sebagai bagian pasukan sekutu yang pada waktu itu
dipimpin Inggris mendarat di Indonesia. Kedatangan belanda waktu itu langsung
mengadakan serbuan terhadap Indonesia dan merebut wilayah Indonesia dan
mengubah Indonesia menjadi negara serikat. Wilayah Republik Indonesia pada saat
adalah Karesidenan Yogjakarta dan Solo (di Jawa Tengah), Aceh (di Sumatera)
Dewan keamanan PBB mengeluarkan mandat untuk mengawasi pelaksanaan
gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda sesuai hasil perjanjian Renville,
dan dibentuk sebuah komisi Good offices commitee, yang terdiri dari perwakilan
3 negara untuk tindak lanjut penyelesaian konflik antar negara Indonesia dan
Belanda. Masing-masing negara yang bertikai menunjuk sebuah negara untuk mewaliki
kepentingannya, Indonesia memilih Australia , Belanda menunjuk Belgia dan kedua
negara tersebut meminta Amerika menjadi anggota komite, sebagai negara yang
bersikap netral. Perundingan damai antara Belanda dan Indonesia dilaksanakan di
dua negara secara bergiliran. Pada saat itu perundingan sedang berlangsung di
Indonesia dan secara tepatnya perundingan dilaksanakan di Kaliurang.
Dalam kondisi seperti itu, Indonesia tidak memperhitungkan bahwa Belanda
akan menyerang Indonesia, karena pada saat itu antara kedua negara masih
terikat perjanjian gencatan senjata dan komite sedang melaksanakan sidang di
Yogjakarta, meskipun berdasarkan pengalaman sebelumnya, Indonesia tetap waspada
terhadap Belanda yang mungkin saja akan melakukan tindakan curang seperti yang
pernah dilakukan pada tahun 1947 pada Agresi militer Belanda I. Saat itu
tentara KNIL dipimpin oleh Jenderal Simon Spoor mempertimbangkan bahwa untuk
meruntuhkan Republik Indonesia , harus dilakukan dengan kekuatan besar dan
tepat pada jantung kekuatan, agar dengan sekali pukulan telak, Indonesia akan
takluk dan diplomasi lebih lanjut menjadi lebih mudah. Menurut catatan,
persiapan penyerangan Belanda ke Yojakarta menggunakan kekuatan udara :
Lapangan Udara Kalijati Bogor, terdiri pesawat Lockhead L-12 dan 6
pesawat Harvard; di Cililitan, 4 pembom Mitchell B-25, 2 pesawat Mustang P-51 ;
Andir Bandung, 16 Pesawat Dakota C-47, Pembom Mitchell B-25 dan 4 pesawat intai
Piper Cub. Khusus di Semarang, dilapangan Kallibanteng, 20 pesawat Dakota,
pesawat Lockhead L-12, 10 pesawat pemburu Spitfire, 5 Bomber B-25 dan pesawat
Auster. Julius Pour (2009; 4). Operasi penyerangan Ke Yogja diberi sandi Kraai,
rincian kegiatan operasi, diawali dengan serbuan udara ke Maguwo, dilanjutkan
dengan penerjunan 2 kompi pasukan penerjun dari pasukan payung baret merah
untuk merebut dan mengamankan Lapangan udara Maguwo. Setelah Maguwo dinyatakan
aman, dilanjutkan dengan pendaratan pasukan komando Baret hijau. Maguwo
digunakan sebagai pancangan kaki sebelum serangan untuk merebut Yogjakarta.
Serangan ke Jogya dilakukan dengan menggunakan 2 poros dan dengan rencana
tersebut diperkirakan oleh Jenderal Spoor, Republik Indonesia akan berantakan ,
operasi dirancang, sebelum senja Yogjakarta sudah direbut dan dikuasai Belanda.
Militer dibawah pimpinan Jendral Sudirman, ternyata telah menyiapkan
strategi untuk menghadapi kemungkinan serbuan Belanda dengan menyiapkan
berbagai alternatif, mulai dari reorganisasi pasukan, pembagian wilayah
tanggung jawab dan pembagian tugas yang tersusun secara terperinci. Maskipun
terjadi dinamika disana-sini, namun secara umum persiapan dan kesiapan militer
pada masa itu tergolong cukup memadai, sebagai rencana menghadapi kontijensi
negara. Dalam kondisi pimpinan negara
dalam pengasingan, relatif pemerintah tidak berfungsi secara normal, namun
dengan semangat perjuangan untuk mempertahankan negara, pemerintahan darurat
tetap berlangsung secara tersembunyi namun efektif. Pemerintah darurat bersama
TNI menyusun strategi untuk merebut kembali kedaulatan negara, melalui berbagai
aksi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih eksis, agar dapat
mempengaruhi hasil atas diplomasi internasional yang terus berlangsung.
Situasi pemerintahan. Perjanjian Renville sebagai tindak lanjut atas
Agresi Belanda I tahun 1946, ditanda tangani olen pemerintah Belanda dan
pemerintah Indonesia pada Januari 1947, berupa Genjatan senjata. Republik
Indonesia, mempunyai wilayah Yogyakarta dan Surakarta di Jawa tengah; Aceh di
Sumatera; dan Pantai Utara Jawa Timur. Wilayah lain telah dibentuk menjadi
negara bagian tederal dibawah pimpinan administrasi Belanda sebagai Hooge
Vertegenwoordiger van de kroom (Wakil Agoeng Mahkota), perubahan dari Letnan
Gubernur Jenderal dan membentuk BFO ( Bijeenkost Federal Overleg ), sebuah lembaga
pertemuan musyawarah federal,terdiri dari perwakilan negara-negara bagian
federal.
Untuk mengawasi atas efektifitas dan kejujuran dalam melaksanakan
perjanjian gencatan senjata antara 2 negara yang sedang bertikai, dibentuk
lembaga yang bertugas memantau pelaksanaanya , berdasarkan mandat resmi dari
Dewan Keamanan. Selama pelaksanaan gencatan senjata, dilakukan diplomasi untuk
menyelesaiakan permasalahan konflik antar dua negara dan untuk memenuhi
keinginan masing-masing negara, dalam pelaksanaan perjanjian, Indonesia meminta
Australia mewakili kepentingan Indonesia sedangkan Belanda diwakili oleh
Belgia. Untuk lebih bersifat netral, maka dua perwakilan negara tersebut
meminta Amerika Serikat menjadi wakil ke 3, sehingga komisi pelaksana terdiri
dari tiga negara dan pada saat itu Indonesia menyebut badan pengawas tersebut
dengan sebutan Komisi Tiga negara ( KTN). Untuk menyelesaikan konflik antar dua
negara tersebut, sidang-sidang yang dilaksanakan KTN dilaksanakan di dua tempat
didua negara secara bergiliran. Pada waktu Agresi Belanda II terjadi, KTN
sedang melaksanakan sidang di Indonesia dan sidang berlangsung di Kalioerang
Yogjakarta.
Pemerintah menyerah, mengibarkan bendera putih. Pagi hari minggu,
tanggal 19 Desember 1948, Belanda dengan mengerahkan kekuatan besar, telah
menyerang jogyakarta tanpa terlebih dulu menyatakan perang, bahkan dalam siaran
radio pagi hari itu hanya menyatakan bahwa belanda menganggap dan menyatakan
tidak terikat lagi dengan perjanjian gencatan senjata yang telah di tanda
tangani oleh dua fihak Indonesia dan Belanda. Sasaran utama dari serangan
Belanda adalah merebut Maguwo, lapangan terbang di Jogyakarta. Dengan menguasai
Maguwo, Belanda dapat mendaratkan kekuatan darat melalui pesawat angkut, yang
disiapkan sesuai dengan rencana operasi yang telah dikeluarkan oleh Jenderal
Spoor. Serangan Belanda ke Mguwo dan dilanjutkan dengan merebut Jogyakarta
tidak mendapat perlawanan yang berarti dari TNI , karena beberapa hari
sebelumnya, Tentara sudah merencanakan latihan perang sehingga pasukan yang
bermarkas di Jogyakarta sudah dipindahkan keluar kota.
Serangan Belanda ke Yogjakarta pada minggu pagi tangal 19 Desember 1948,
disaksikan langsung oleh wakil Australia dalam Komite tiga negara, yaitu Thomas
Kingston Critchley, yang dikutip Julius Pour (2009; 66) dia mengatakan “ when the Dutch attacked Djogjakarta on the
morning of 19 December 1948, I was having breakfast with bung Hatta, on the
verandah of sultan’s bungalow which Hatt always used whwn he was in Kalioerang.
Our breakfast was interrupted by the sign of Dutch planes dive bombing and
strafing Djogjakarta” Pagi itu menanggapi serangan Belanda ke Republik
Indonesia, pemerintah menyelenggarakan sidang darurat yang dipimpin oleh
presiden an diikuti oleh beberapa menteri, yang saat itu sedang berada di
Joyakarta.
Sidang darurat Kabinet menghasilkan 3 rumusan, meskipun pada saat itu
Belanda sedang melancarkan serangan dan menjatuhkan bom di beberapa tempat yang
dianggap strategis di sekitar Jogyakarta. Rumusan Pertama, Presiden , Wakil dan
para menteri tidak akan meninggalkan Jogya, dengan mempertimbangkan tidak cukup
pengawalan. Bila Mereka ditawan, masih memberi peluang untuk tetap dapat
berhubungan dengan KTN; rumusan kedua, sidang menyetujui, Wakil presiden yang
juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan akan menganjurkan lewat radio, semua
anggota tentara dan rakyat agar melakukan perang gerilya; rumusan ketiga,
Presiden dan Wakil Presiden akan mengirim kawat kepada Menteri Kemakmuran
Rakyat yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah darurat ,
menyusun Kabinet baru, sekaligus mengambil alih Pemerintahan. Rumusan kedua,
awalnya merupakan pengumuman kepada seluruh rakyat untuk memilih pimpinan
pemerintahan baru apabila Presiden dan Wakil Presiden terbunuh atau tertawan.
Namun dengan pertimbangan bahwa apabila rumusan tersebut diumumkan, maka akan
terjadi pembentukan pemerintahan darurat dimana-mana, sehingga hanya satu orang
yang ditunjuk untuk menerima mandat yaitu Syafroeddin Prawiranegara, untuk
melanjut kan pemerintahan. Mandat
dikirimkan dalam bentuk radiogram, yang dalam kutipan Julius Pour (2009;69)
berbunyi
“
Kami, Presiden Republik Indonesia memberitahukan, bahwa pada hari minggu 19
Desember 1948 pukul 06.00, Belanda telah memulai serangannya terhadap Ibu Kota
Djogjakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan
kewajibannyalagi, kami menguasakan kepada Mr.Syafroeddin Prawiranegara, Menteri
Kemakmoeran Republik Indonesia untuk membentuk Republlik Indonesia darurat di
Sumatera ....”.
Sedangkan Wakil Presiden juga mengirimkan berita kepada Dr.Soedarsono
dan Mr. Alex Maramis, dikantor perwakilan Republik di New Delhi, India, isi
beritanya
“ ...
jika upaya Syafroeddin Prawiranegara membentuk Pemerintah darurat di Sumatera
tidak berhasil, kepada saudara berdua dikuasakan untuk membentuk exile
governmen Republik Indonesia di India”
Pada
waktu itu pidato Presiden dan Wakil presiden tidak dapat disiarkan di Radio,
karena Radio Republik Indonesia ( RRI ) sudah hancur dijatuhi bom oleh tentara Belanda,
sehingga teks pidato tersebut disebarkan dari tangan ketangan, kepada rakyat
dan militer, para republiken, namun penyebaranya agak terlambat karena situasi
yang tidak memungkinkan. Teks Pidato Presiden dan Wakil Presiden, baru dapat
diterima di Batavia, 3 minggu setelahnya. Makna pidato tersebut sangat
menggugah semangat perjuangan. Pidato Bung Karno menyatakan
“ ...
kita tahu dengan senjatanya , Belanda mungkin dapat menguasai dan menduduki
beberapa tempat penting. Tetapi mereka tidak mungkin dapat menghancurkan
semangat perjuangan kita, tidak bisa menghapuskan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Kemerdekaan yang kita cintai dan telah kita pertahankan selama 3 tahun
terakhir. Kemerdekaan yang sudah kita proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945,
sudah lebur dengan jiwa kita, dan tidak akan lagi bisa dihancurkan...”
Pidato
Bung Hatta menyatakan
“
Musuh ingin menguasai pemerintahan, tetapi Republlik Indonesia sama sekali
tidak tergantung kepada orang-orang yang memimpin atau menjadi anggota
pemerintah. Rakyat harus berperang , dan saya yakin , seluruh rakyat Indonesia
siap mengambil alih perjuangan”.
Pada
hari itu tanggal 19 Desember 1948, Presiden, Wakil Presiden dan beberapa
menteri serta beberapa pejabat pemerintah menjadi tawanan politik Belanda,
setelah sebelumnya sempat membawa bendera putih sebagai tanda menyerah dan
selanjutnya menjadi tahanan rumah. Sebagian yang lain yang berhasil ditangkap
Belanda diluar Istana, juga menjadi tawanan politik dan dimasukkan dalam
penjara Wirogoenan. Beberapa menteri yang lain yang tidak berada ditempat
karena sedang melaksanakan tugas di luar Ibukota Negara, sebagian mengikuti
pengungsian dan ikut bergerilya. Beberapa hari kemudian para tawanan politik
ini dipindahkan oleh Belanda kedaerah pengasingan. Presiden Soekarno dan
beberapa orang di asingkan di Brastagi dan Moh. Hatta, Wakil presiden dengan
beberapa orang di asingkan di Pulau Bangka.
Reaksi
Dunia atas serangan Belanda ke Jogyakarta. Sebagian perwakilan KTN masih berada
di Kalioerang, kecuali Merle Chohran sudah berada di Batavia, karena mengantar
surat jawaban Pemerintah Republik Kepada Kerajaan Belanda. Keberadaan para
wakil KTN di Kalioerang memberi kesempatan yang luas untuk melakukan pemantauan
secara terus menerus atas serangan Belanda Ke Republik. Perwakilan KTN yang
masih berada di Kalioerang antara lain Critchley dari Australia, Herremans dari
Belgia, Lisley deputy dari Amerika, termasuk staf dan anggota militer pemantau
gencatan senjata. Mellihat perkembangan tersebut, Critchley dari Australia
mengajak rekan-rekannya untuk merumuskan laporan yang akan dikirimkan ke Dewan
Keamanan. Laporan dibuat dalam bentuk telegram sebagai laporan pandangan mata.
Namun laporan tersebut tidak dapat dikirimkan, karena semua fasilitas
komunikasi telah dihancurkan Belanda dan baru dapat dilaporkan secara lengkap
setelah semua diplomat perwakilan KTN berada di Batavia hari Selasa tanggal 21
Desember , setelah mereka diterbangkan oleh Belanda dari Jogya sebagai tindak
lanjut tuntutan Amerika dan Dewan keamanan.
Akan
tetapi, minggu siang tanggal 19 Desember 1948, Delegasi Amerika Merle Chohran
dan TW Cutts wakil ketua delegasi Australia, sebelum mengirimkan laporan
pandanan mata dari KTN, telah pula mengirim laporan kepada Dewan Keamanan
tentang pelanggaran yang telah dilakukan oleh Belanda terhadap perjanjian
Renville yang ditanda tangani kedua fihak pada tangal 17 Januari 1946. Laporan
mengenai serangan Belanda ke Jogyakarta tersebut diterima oleh dewan keamanan
sebelum serangan Belanda hari pertama selesai, karena perbedaan waktu 5 jam
antara Batavia dan Paris. Dewan keamanan pada senin pagi, langsung mendesak
Belanda untuk menjamin keselamatan para Delegasi KTN beserta stafnya yang
sedang berada di Kalioerang.
Sementara
itu Delegasi Republik , Mr. Soejono, Prof. Soepomo dan Joesoef Ronodipoero,
pada minggu pagi , berhasil mengirimkan berita kepada Duta besar Dr. Soedarsono
dan Menteri Keuangan Mr. Alex Maramis di New Delhi, melalui konsulat India di
Batavia, tentang pernyataan Belanda yang tidak mengakui lagi perjanjian Renville,
yang berarti perang akan segera terjadi.
Minggu
sore sebagai hasil release kedutaan Indonesia di India, semua radio di India
memberitakan serangan mendadak yang dilakukan Belanda terhadap Republik, dan
berita ini langsung menjadi berita di berbagai negara, sehingga Agresi Belanda
telah diketahui oleh Dunia.
Berita
penyerangan Belanda terhadap Indonesia ini, memancing reaksi Perdana Menteri
India, Nehru, setelah mendengar berita tentang serangan Belanda terhadap
Republik, langsung menyampaikan gagasan untuk menyelenggarakan pertemuan antar
bangsa, dengan agenda mengutuk Agressi militer Belanda ke Republik Indonesia di
Jogyakarta.
Citra
memalukan dialami Belanda, karena pada masa itu, negeri Belanda sedang dibangun
atas bantuan Amerika, tetapi pada saat yang bersamaan melakukan serangan kepada
negara lain, sehingga Belanda menerima tuduhan menyelewengkan dana bantuan
tersebut untuk biaya perang.
Reaksi
lain juga bermunculan atas serangan Belanda ini. Dari Liga Arab, Sekjen Lliga
Abbel Rahman Azzam, menyatakan dengan tegas
“ ...
to commit acts of aggression and to attacs the independence and territorial
integrity of Republik Indonesia . The least that can be said about this conduct
is that it is contrary to international practice in setting conflict. It is
against the principles of the United Nations Charter ...”
Dari
Ketua delegasi Philipina di Dewan Keamanan, yang sudah terlanjur reses dan
kembali ke Philipina, Charlos Romulo, segera mengirim surat kepada Dewan
keamanan, dengan menyatakan bahwa Belanda telah dengan sengaja melanggar Piagam
tata krama antar bangsa yang baru saja dirintis untuk disepakati antar
negara-negara terhormat.
Dari
dalam negeri sendiri Negara Federal menentang sikap Belanda yang akan menyerang
Jogyakarta, sikap negara Federal diawali dari Negara Indonesia Timur ( NIT ) .
Siang setelah mendengar Pengumuman Belanda yang dibacakan oleh Dr. Beel,
tentang keputusan belanda untuk tidak terikat lagi dengan perjanjian gencatan
senjata, Kabinet NIT, dipimpin oleh Perdana menteri Demisioner Anak Agoeng Gde
Agoeng , melaksanakan sidang darurat dan menghasilkan protes keras atas
tindakan tentara Belanda menyerbu Republik. Secara serentak seluruh anggota
kabinet NIT meletakkan jabatan. Ternyata sikap NIT juga diikuti oleh Negara
Pasundan, mengambil sikap yang sama seperti yang dilakukan leh NIT. Dengan
kondisi tersebut pertemuan musyawarah federal sebagai sekutu utama Belanda
untuk merancang masa depan bekas wilayah Hindia belanda tidak mendukung sikap
Belanda bahkan mengecam sikap Belanda.
Bagi
Dewan keamanan, akhir Desember setiap tahun, merupakan waktu yang secara
tradisi, dunia sedang persiapan untuk melaksanakan libur Natal dan tahun baru.
Dewan keamanan juga sudah mempersiapkan Agenda untuk Reses. Situasi inilah
sebenarnya yang dimanfaatkan oleh Jendral Spoor saat merencanakan serangan ke
Jogyakarrta. Dia memperkirakan bahwa serangan akan berhasil dalam satu hari dan
Republik dapat diambil alih. Serangan ini meskipun nantinya diketahui oleh
Dewan keamanan, namun sudah terlambat, sehingga tidak ada pilihan lain, dunia
akan menghapuskan Republik Indonesia dari Peta dunia. Kenyataannya, perhitungan
Spoor meleset karena Dewan keamanan telah menerima laporan dari perwakilan
Amerika sebelum para pejabat Dewan Keamanan melaksanakan reses. Berdasarkan laporan
yang diterima ini, maka sekertariat mengumumkan kepada seluruh anggota Dewan
Keamanan untuk mengikuti sidang darurat membahas agenda tunggal permasalahan
serangan Belanda ke Republik. Desakan ini ternyata datang dari Amerika yang
secara tersembunyi mencurigai penyelewengan dana bantuan Marshall Plan oleh
Belanda , untuk membiayai operasi Militer di Jawa dan Sumatera.
Dewan
Keamanan melaksanakan sidang Selasa 22 Desember pukul 15.00 waktu Paris, dan
melalui perdebatan, delegasi Belanda akhirnya menyetujui hasil sidang dan pada
tanggal 24 Desember , sidang Dewan Keamanan telah menghasilkan resolusi,
mendesak Belanda untuk menghentikan Agrresi dan segera membebaskan Presiden,
Wakil Presiden Republik dan seluruh tahanan politik Indonesia yang ditangkap pada
tanggal 19 Desember 1948. Belanda melalui delegasinya di Dewan Keamanan
menyatakan bersedia melaksanakan semua keputusan sidang. Namun pejabat politik
dan otoritas Belanda di Batavia menolak, mereka beranggapan Dewan keamanan
tidak berhak mencampuri urusan Belanda karena tindakan yang dilakukan menyerang
Jogyakarta merupakan tindakan polisionil, untuk mengatasi gangguan keamanan
yang menjadi urusan dalam negeri. Mereka menyatakan Republik sudah bubar dan
wilayah Indonesia sudah berubah dan menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Belanda.
Disamping itu otoritas Belanda di Batavia juga menyampaikan bahwa alat Republik
yaitu TNI telah dihancurkan dan sudah berubah menjadi kelompok pengacau
keamanan di wilayah yang diduduki Belanda. Sehingga mereka beralasan operasi
tersebut sebagai operasi ketertiban dan keamanan.
Sanksi
terhadap Belanda. Sikap otoritas Belanda di Batavia, menyebabkan reaksi keras
dari Dewan Keamanan dan pada tanggal 25 Desember Resolusi Dewan keamanan
disampaikan ulang dengan lebih keras, disertai ancaman akan menjatuhkan sanksi
Internasional. Pada saat tersebut, sekaligus Dewan keamanan mengaktifkan
kembali Military executive board, para perwira militer pemantau gencatan
senjata yang masih berada di Batavia. Belanda ternyata berubah sikap dan kepada
Dewan Keamanan Belanda berjanji untuk segera menghentikan operasi militer yang
diarahkan kepada “unsur pengacau” istilah Belanda untuk TNI. Semua operasi
militer akan dihentikan mulai tanggal 31 Desember 1948 untuk wilayah Jawa dan
mulai tanggal 2 Januari untuk wilayah Sumatera.
Perlawanan
Tentara Nasional Indonesia (TNI), terhadap Agresi Belanda. Diawali dari
pengalaman yang terjadi pada Agresi militer Belanda I tahun 1946, TNI telah
meningkatkan kewaspadaan dan telah melakukan langkah langkah penting sebagai
sikap militer yang senantiasa siap melindungi keselamatan bangsa dan negara.
Beberapa kegiatan yang dilaksanakan TNI pada saat itu mulai dari reorganisasi
kekuatan, pembagian wilayah tanggung jawab dan pembagian tugas masing masing
organisasi. TNI saat itu telah diorganisir menjadi 3 unsur, yaitu unsur pasukan
mobil, unsur pasukan territorial dan unsur pasukan cadangan.
Sebagai
implementasi janji TNI untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan, TNI
menyusun Rencana kontijensi menghadapi kemungkinan Serangan mendadak. Pasukan
TNI, berdasarkan pengalaman Agresi Belanda tahun 1946, menyadari bahwa dapat
saja Belanda melakukan aksi serangan kepada Indonesia mengingat sikapnya pada
masa-masa sebelumnya. Untuk mengantisipasi keadaan yang dapat muncul mendadak,
Tentara Nasional Indonesia telah melakukan langkah-langkah antisipasi. Panglima
Besar Soedirman sebagai pemimpin tertinggi di TNI melaksanakan reorganisasi
dengan membagi TNI menjadi 5 wilayah, yang masing-masing dipimpin oleh seorang
Panglima. Antara lain Panglima Tentara dan Teritorium Djawa ( PTTD), Panglima
Tentara dan teritorium Sumatera (PTTS) , Markas Besar Komando Djawa (MBKD) .
Untuk menenghadapi kemungkinan pecahnya perang, Pangsar juga menyempurnakan
Perintah Siasat, yang disampaikan pada rapat bersama para Panglima, Gubernur
dan Residen yang dilaksanakan di MBKD pada 11 Nopember 1948. Julius Pour (2009;
42). Terdapat 3 hal utama yang harus dilakukan oleh tentara (TNI) bila terjadi
perang :
Pertama,
Kota besar dan jaringan jalan raya tidak perlu dipertahankan, karena kekuatan
musuh dipastikan lebih besar dan lebih lengkap.
Kedua,
Menyusun rencana pengungsian secara total, penyebaran kantong-kantong
perlawanan gerilya, dengan pertimbangan perang akan berlangsung secara luas dan
waktu yang lama.
Ketiga,
Rencana aksi perlawanan pasukan Republik yang telah ditetapkan adalah dengan
melaksanakan perang gerilya.
Disamping
perintah siasat tersebut, Panglima PTTD, memberikan perintah persiapan yang
berisi :
Komandan
Brigade X, Divisi III Diponegoro yang dipimpin oleh Letkol Soeharto, bertugas
mempertahankan Jogyakarta ; Komando Militer Kota Jogya, menyiapkan Pos Komando
darurat di dalam keratin untuk digunakan Presiden, sebagai posko sementara
,sebelum selanjutnya dipindahkan ke Samigaloeh, Koelon progo; Angkatan Udara,
diperintahkan untuk mempersiapkan lapangan terbang darurat di Gading Gunung
Kidul, sebagai persiapan menghadapi blockade oleh Belanda dan untuk tetap dapat
berhubungan dengan dunia luar; Mempersiapkan tempat persembunyian rahasia di
Jawa Timur, untuk digunakan Pangsar agar tetap dapat memimpin pertempuran.
Selanjutnya,
bagi pasukan yang berasal dari daerah Federal, menyusup kembali kedaerah asal ,
sehingga Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat ; Brigade Diponegoro, kembali ke
Banyoemas/Pekalongan; Brigade Damarwoelan/ Brawijaya, kembali ke Besoeki Jatim;
Laskar-laskar yang berasal dari seberang, menyusup kembali kedaerah asal,
Kalimantan, Sulawesi atau sunda kecil.
Serangan
umum. Pasukan TNI sebagai salah satu kekuatan Negara yang masih dapat utuh dan
mampu bergerak bebas, selalu mencari celah dan kelengahan pasukan Belanda.
Setiap ada kesempatan selalu dimanfaatkan untuk melakukan gangguan dan serangan
baik terhadap kedudukan pasukan maupun konvoi Belanda. Seperti yang dilakukan
oleh pasukan dari Brigade X , pasukan penanggungjawab pertahanan Jogyakarta
pada tanggal 29 Desember 1948.
Pasukan
Belanda menerima informasi bahwa Letkol Soeharto dan pasukannya berada di Kulon
Progo, Belanda mengerahkan pasukan untuk menyerbu kedudukan Soeharto. Namun
data Belanda tidak akurat sehingga tidak berhasil menemukan tempat
persembunyian Soeharto. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Pasukan TNI untuk
melakukan serangan di kedudukan pasukan Belanda di Jogya karta. Semua kedudukan
Belanda diserang oleh pasukan dengan kekuatan yang tidak terlalu besar, namun
menimbulkan korban dan menghantui Pasukan Belanda. Serangan serupa juga
dilakukan oleh pasukan TNI yang lain. Setiap saat pada waktu yang tidak
terduga,kedudukan pasukan Belanda selalu diganggu. Arah kedatangan pasukan TNI
selalu tidak terduga dan arah pengundurannyapun tidak dapat diperhitungkan.
Serangan sporadic tidak hanya dilakukan di Jogyakarta saja, disemua kedudukan
Belanda, melakukan serangan serupa, untuk mengacaukan dan membuat pasukan
Belanda Tertekan secara mental dan fisik.
Proses
diplomasi masih terus berlangsung, Fihak Belanda yang berada di Batavia tidak
benar-benar mematuhi resolusi Dewan keamanan, kecaman dan tekanan dari segala
penjuru tidak diindahkan. Rancangan Perdana Menteri India, Nehru, untuk
melaksanakan pertemuan bangsa-bangsa Asia, terlaksana yang dihadiri oleh 15
Negara Asia, Australia dan Timur Tengah, dan telah berhasil menunjukkan kepada
Dunia bahwa Negara-negara Asia mampu melakukan kerjasama dan solidaritas asia.
Salah satu rumusan hasil pertemuan bangsa-bangsa, menyatakan bahwa Bangsa Asia,
menuntut persamaan hak politik dan disetarakan dengan Negara-negara di Eropa
dan Amerika, bukan hanya sebagai Negara-negara penghasil bahan mentah saja.
Sikap
Belanda terhadap Republik Indonesia, menjadi sorotan dan kecaman, meskipun
hasil sidang bangsa-bangsa Asia tidak langsung mempengaruhi sikap Belanda,
namun secara Internasional, peran Asia mulai menjadi pertimbangan bagi
bangsa-bangsa yang telah lebih dulu merdeka.
Panglima
Brigade X Letkol Soeharto, setiap saat berfikir untuk melakukan pembalasan
kepada Belanda, apalagi Jogyakarta merupakan wilayah yang menjadi tanggung
jawab Brigade X untuk mempertahankan. Namun pada serangan pendadakan Belanda
tanggal 19 Desember, posisi pasukan memang sudah digelar diluar Kota untuk
mempersiapkan menghadapi rencana latihan militer. Selain Pak Harto, Sultan
ternyata juga berfikiran serupa. Keberadaannya di keraton harus bermakna bagi
Republik. Akhirnya melalui berbagai proses, pertemuan antara keduanya dapat
berlangsung untuk membicarakan rencana serangan besar kepada pasukan Belanda
yang dilakukan siang hari. Selama ini serangan-serangan terhadap kedudukan
Belanda hampir selalu dilakukan malam hari, namun berdasarkan hasil monitoring
perkembangan Internasional, pada bulan Maret direncanakan Dewan Keamanan akan
melaksanakan sidang, termasuk mengagendakan Pelanggaran Belanda terhadap
perjanjian gencatan senjata. Dengan memmanfaatkan momentum Politik
internasional agar dapat menarik perhatian dunia, bahwa TNI masih eksis, maka
dirancang serangan umum 1 Maret, dilaksanakan pada siang hari.
Serangan
Umum dilaksanakan dirancang secara teliti dan terkoordinasi, sehingga sangat
mengejutkan pasukan Belanda. Jam J ditentukan bersamaan dengan sirine
berakhirnya jam malam, suara yang sudah sangat akrab dengan penduduk kota dan
dari semua arah pasukan TNI secara bersamaan langsung bergerak, karena suara
sirine dapat didengan dari seluruh kota. Serbuan datang dari arah luar kota,
juga dilakukan oleh pasukan gerilya yang sejak malam hari sudah menyusup
didalam kota. Dari selatan, bergerak pasukan SWK 102, arah barat bergerak
pasukan 103 A, dari arah utara pasukan SWK 104 dan dari arah timur pasukan SWK
105. Komando taktis berada di sector barat yang langsung bergerak menuju
Malioboro untuk memudahkan pelaksanaan komando dan pengendalian. Selain pasukan
yang menyerbu kedalam kota, pasukan yang berada diluar kota melakukan
penutupan/pengikatan terhadap pasukan Belanda yang berada diluar kota Jogya, agar
tidak dapat memberikan bantuan kedalam kota. Dari arah barat, Koelon Progo, SWK
106 menghentikan kompi yang berada di jembatan Bantar. Pasukan TNI yang berada
di Purworejo dan di Kebumen menutup rute yang mungkin digunakan Belanda untuk
membantu dari arah barat. Pasukan yang berada di Magelang, menutup rute pasukan
dari arah utara, sedangkan pasukan komando Gubernur militer menutup akses
bantuan yang datang dari arah Solo dengan melakukan penghadangan di wilayah
Klaten. Dalam waktu singkat hamper semua pos Militer Belanda dapat direbut dan
diduduki oleh pasukan TNI, selama hampir 5 jam. Pada saat pasukan bantuan
Belanda dari luar kota datang, pasukan TNI sudah meninggalkan kota, karena
tugas serangan umum telah menyelesaikan sasaran yang direncanakan, merebut kota
Jogyakarta, walaupun hanya beberapa jam.
Keberhasilan
pasukan TNI merebut Jogya, mendapat sambutan gembira dan rasa bangga dari
seluruh penduduk kota. Namun tidak aka nada artinya bila keberhasilan ini tidak
diketahui oleh dunia. Karena tujuan serangan ini diarahkan untuk mempengaruhi
opini dunia, bahwa TNI, pasukan Republik masih terorganisir dengan baik dan
mampu menunjukkan eksistensinya.
Komandan
Brigade, telah membuat draft berita yang akan dikirimkan melalui radio, dengan
saluran dari Gunung Kidul, ke Aceh dan dilanjutkan ke India. Sehingga begitu
serangan dilakukan, berita tersebut telah diterima di India dan menjadi berita
siaran radio yang dapat didengar oleh masyarakat dan dapat diakses oleh semua
saluran siaran radio diseluruh dunia. Kenyataannya strategi ini berhasil, pada
saat release disampaikan oleh Belanda, menjadi berita basi yang juga dianggap
mengada-ada.
Keberhasilan
serangan umum ini tidak perlu menjadi perdebatan, apakah ini inisiatif Soeharto
atau merupakan rancangan yang telah disusun secara nasional. Sebagai organisasi
militer hal ini sudah dapat diperhitungkan dan dapat dinilai seharusnya seperti
apa.
Serangan
umum 1 Maret 1949, telah berhasil mempengaruhi opini dunia dan terutama Dewan
keamanan, dan lebih lanjut berpengaruh kepada proses politik di Indonesia,
sehingga mempersulit posisi Belanda di Indonesia juga termasuk di PBB dan
pergaulannya dengan Internasional.
Kesimpulan.
Berbagai
kajian dan analisis tentang rangkaian sejarah mulai Agresi Belanda II tanggal
19 Desember 1948 sampai penyerahan kembali kedaulatan Republik kepada
pemerintah Indonesia, menimbulkan pendapat dan analisis yang menganggap
terjadinya pertentangan antara pimpinan politik dan pimpinan militer, karena
secara harfiah, beberapa keputusan politik memang tidak melibatkan sama sekalli
pendapat militer. Namun demikian pada akhirnya strategi diplomasi dan strategi
militer menjadi sebuah sinergi yang masing-masing mempunyai peran penting dan
tidak dapat dipisahkan. Diplomasi dan militer saling mendukung, tidak ada
keberhasilan militer tanpa didukung oleh kemampuan diplomasi, demikian juga
sebaliknya diplomasi tidak akan berhasil tanpa dukungan kekuatan dan kemampuan
militer, baik sebagai faktor penekan atau sebagai faktor pembuka jalan.
Apabila
selama proses tersebut terdapat pertentangan, perbedaan pendapat, perubahan
sikap dari keputusan awal dan keputusan lain, maka hal tersebut merupakan
dinamika perjuangan dan sebagai pertimbangan –pertmbangan yang dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi yang setiap saat berubah dan memerlukan sikap yang berbeda
untuk menghadapinya.
Dari
kajian sejarah yang singkat ini dapat disimpulkan beberapa hal penting yaitu :
1.
Dalam sebuah Negara, setiap peran yang bersifat sektoral harus dilakukan secara
bersungguh-sungguh untuk mencapai sasaran sektornya, namun tidak boleh
melupakan sinergi dengan sektor lain untuk mencapai tujuan bersama.
2.
Dalam situasi dan kondisi seperti apapun, semua sektor kepentingan dalam
Negara, butuh kewaspadaan dan kesiapsiagaan dengan menyiapkan rencana
kontijensi, sebuah rencana menghadapi kemungkinan ancaman yang akan timbul,
untuk menhindari akibat yang fatal.
3.
Pada kenyataannya rakyat juga membutuhkan perintah/ instruksi resmi dari
pemerintah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang berkembang, dan rakyat
butuh mengetahui kebijakan pemerintah agar rakyat mengetahui apa yang harus
dilakukan dalam mendukung kebijakan pemerintah.
4.
Keberhasilan TNI dalam melaksanakan tugas mempertahankan kedaulatan Negara,
keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, bukan hanya pekerjaan militer, karena
tanpa dukungan rakyat dan seluruh komponen bangsa lainnya hal tersebut sulit
dilaksanakan. Namun demikian, kesatuan dan persatuan TNI pada saat itu dan juga
kapanpun berpengaruh besar untuk menjadikan TNI sebagai benteng yang kuat untuk
menghadapi setiap ancaman terhadap Negara.
5. Militer dalam sebuah Negara, sebagai alat
Negara, berjuang demi persatuan dan kesatuan Negara, selalu akan taat kepada
keputusan politik Negara yang diputuskan oleh pemerintah.
Disadur dari Julius pour, naar jogya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar