Oleh : J Syaifuddin,
M.Si
1.
Pendahuluan.
Pancasila merupakan landasan yang menjiwai perumusan cita-cita
perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-undang
dasar 1945. Penerapannya dalam kehidupan
bangsa Indonesia, diharapkan menjadi wujud dari nilai-nilai kesatuan dan
persatuan, kekeluargaan dan kebersamaan yang menjadi pedoman dalam pola sikap,
pola pikir dan pola tindak setiap warga negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada kenyataannya belum semua warga negara
dapat menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari baik dalam berfikir,
bersikap dan bertindak, bahkan tidak
jarang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.
Pembentukan Negara Indonesia oleh para pendahulu,
menempatkan dua visi yang saling berkaitan yaitu visi pertama adalah integrasi,
yang dituangkan dalam lambang negara yaitu bhineka tunggal ika, yang
menghendaki agar dalam pengelolaan negara, tetap memelihara identitas dan
warisan kultural etnik dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini juga secara nyata dituangkan pada
pasal 18, 32 dan pasal 36 Undang-undang Dasar 1945. Visi kedua adalah Asimilasi, sebagai bentuk
menyatunya setiap Individu warga negara dengan etnis yang berbeda-beda, kedalam
satu bangsa Indonesia dan dalam kaitan ini juga didukung dalam deklarasi Sumpah
Pemuda tahun 1928 dan juga dituangkan pada pasal 1 dan pasal 27 Undang-undang
Dasar 1945
Nasionalisme
menurut Bung Karno[1], bahwa nasionalisme adalah
kesadaran bahwa tiap-tiap anggota bangsa adalah bagian dari suatu bangsa yang
besar, yang berkewajiban mencintai dan membela negaranya, dan setiap anggota
bangsa perlu menyadari bahwa harus mempunyai rasa tanggungjawab sebagai satu
bangsa yang merdeka dan berdaulat, harus sadar bahwa mereka memiliki harga diri
, martabat, kedudukan, tanggungjawab atas masa depan bangsa. Setiap saat dia juga siap membela
kepentingan bangsa dan negaranya, serta siap pula berkorban demi kelangsungan
hidup, keutuhan dan kebesaran bangsanya.
Dalam
era globalisasi, wawasan kebangsaan dan nasionalisme bangsa Indonesia masih
mengandalkan landasan dan perekat dari
peristiwa simbolik dan rasa senasib pada
awal terbentuknya negara. Namun apakah
wawasan kebangsaan dan Nasionalisme dapat diwujudkan, bila Kesenjangan sosial, KKN dan feodalisme masih
menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan oleh bangsa Indonesia ?
2. Tantangan dalam National Building.
Setelah berakhirnya perang dunia II, sebagian besar negara dibentuk
berdasarkan pada etnik masing-masing, sehingga disebut sebagai sebuah negara
bangsa, karena dalam sebuah negara hanya terdiri dari sebuah bangsa/etnik. Paling tidak dalam sebuah negara terdapat
etnik mayoritas, seperti Belgia, yang
terdiri bangsa Belanda,sebagai bangsa mayoritas ditambah bangsa perancis dan
Jerman. Bahkan setelah Uni Soviet
runtuh, maka semenjak itu negara- negara yang sebelumnya menjadi bagian dari
Uni telah berubah menjadi negara bangsa, setiap negara berpenduduk sesuai etnis
tertentu, sebagai sebuah bangsa.
Bangsa
Indonesia, merupakan negara dengan rakyatnya yang terdiri dari banyak suku
bangsa dan dengan kesepakatan bersama telah membentuk sebuah negara yang diikat
dengan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa bernegara satu, berbangsa satu
dan berbahasa satu yaitu Indonesia.
Kesepakatan itu dapat terwujud sebagai bentuk rasa senasib dan
seperjuangan untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Setelah Indonesia merdeka, dalam mengisi
kemerdekaan, telah terjadi dinamika dan dalam perjalanannya masih menghadapi
berbagai tantangan yang menjadi tugas negara untuk menyelesaikannya.
a. Kesenjangan
sosial antara rakyat miskin dan kelompok kaya sangat dalam, pemerataan
pembangunan, masih menjadi permasalahan yang sulit diselesaikan. Dalam sistem demokrasi, institusi sipil yang
memiliki kekuasaan besar, didominasi oleh individu yang hanya mengutamakan
kepentingan pribadi dan golongannya, bukan mengutamakan kepentingan
pemberdayaan rakyat, yang bertentangan dengan jiwa dan semangat Nasionalisme. Program mengurangi pengangguran dan
pengentasan kemiskinan menjadi jalan yang sangat panjang karena belum menjadi
prioritas dalam pelaksanaan pembangunan.
Didasari
dengan Undang-undang dasar 1945, Indonesia membagi wilayah pemerintahannya
menjadi beberapa daerah tingkat I dan tingkat II dan memberlakukan otonomi
daerah, dimana pada masa pemerintahan orde baru, kewenangan anggaran dan
keuangan tersentalisir dipusat. Setelah reformasi negara menerapkan
desentralisasi dengan membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
dalam bentuk otonomi daerah. Namun semangat otonomi, ternyata belum
difahami secara benar oleh pejabat pemerintah daerah otonom, sehingga
keinginan negara untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat agar
optimalisasi pemberdayaan masyarakat didaerah serta pemerataan pembangunan
dapat terwujud, namun sampai sekarang keinginan tersebut belum dapat terlaksana
secara optimal, bahkan beberapa wilayah merasa di anaktirikan, karena
pembangunan diwilayah tersebut belum mendapat prioritas yang memadai sesuai
kepentingan daerah, padahal kewenangan telah didelegasikan kepada pemerintah
daerah otonom. Banyak kewajiban
pemerintah daerah otonom yang tidak terselenggara dengan baik, sipil tidak
berkonsentrasi pada kewajibannya dan terkesan kewajiban tersebut berada diluar
kemampuan pengelolaannya, sehingga perencanaan pembangunan hanya sebatas
rencana yang sulit untuk diwujudkan.
Dalam hal ini dapat diambil satu contoh nyata, dimana salah satu
kewajiban pemerintah daerah otonom untuk “melindungi masyarakat, menjaga
persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia” yang tertuang pada pasal 22 undang-undang RI nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintah Daerah, belum dapat menunjukkan hasil yang nyata,
terbukti diberbagai wilayah masih terjadi konflik horizontal, tawuran antar
kelompok, bahkan masih ada ide separatis yang berkembang sampai pada perlawanan
bersenjata, sebagai bentuk rendahnya pemahaman wawasan kebangsaan. Pembangunan
nasional masih belum dapat dapat menjangkau seluruh wilayah, menyebabkan
beberapa wilayah masih merasa belum diperlakukan adil dalam kesatuan nasional,
karena hasil pembangunan belum dinikmati dan belum menyentuh rakyat di beberapa
wilayah.
Rakyat hanya
mengetahui bahwa hasil kekayaan alam dari wilayah mereka sebagian telah
diserahkan kepada pemerintah pusat, sehingga rakyat menilai pemerintah pusat
tidak bertanggungjawab melaksanakan pemerataan pembangunan. Masyarakat
dibeberapa daerah menilai bahwa pemerintah pusat telah menyalahgunakan
kekuasaan, dengan mengambil hasil kekayaan dari daerah, tetapi prioritas
pembangunan dilakukan diwilayah lain, bahkan mereka merasa karena etnisnya
yang berbeda menjadi dikesampingkan. Pemerintah daerah yang
menyadari situasi seperti ini belum secara optiomal memberikan penjelasan kepada
masyarakat bahwa tugas pembangunan didaerah, sebagian besar telah menjadi
tanggungjawabnya, sehingga rakyat tidak mengetahui alasan mengapa pembangunan
belum terlaksana dengan baik, sementara pemerintah daerah menghadapi berbagai
permasalahan dalam pelaksanaan. Selain itu pemerintah daerah belum
mampu mengajak rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan
didaerah, karena berbagai alasan.
Situasi dan
kondisi ketidakpuasan rakyat didaerah dimanfaatkan oleh fihak lain melalui
penyusupan untuk mempengaruhi opini rakyat, menempatkan para ahli propaganda
yang mahir mengemas permasalahan yang berkembang menjadi permasalahan yang
menjadi bahan dan pemicu pertentangan dan konflik, sampai kepada
tumbuhnya ide separatisme. Para aktor penyusup, baik secara langsung
atau melalui LSM yang tidak netral, membuka kekurangan dan keterbatasan pemerintah
sebagai isu yang disebarkan secara negatif, sehingga rakyat menilai bahwa para
elit politik tidak pernah berfikir bagi kemajuan bangsa, hanya mementingkan
diri pribadi dan golongannya, yang menyebabkan turunnya dan berkurangnya rasa
kebanggaan sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Mereka dipengaruhi untuk
berfikir bahwa akan lebih baik bila menjadi sebuah negara bangsa tersendiri,
lepas dari Indonesia, karena mereka juga dipengaruhi bahwa dengan kekayaan alam
wilayahnya, cukup memiliki kekuatan untuk menjadi sebuah negara.
Banyak kebijakan
negara dinilai belum mencerminkan kebijakan nasional, tetapi hanya mencerminkan
kebijakan berorientasi “jawa”. Mereka yang berada diluar jawa menilai
semua kebijakan hanya mempertimbangkan Jawa, sebuah sikap yang menentang dari
visi integrasi yang digagas oleh para pendahulu pendiri negara. Kebijakan yang ditetapkan sebagian besar hanya
memperhitungkan kondisi Jawa, Madura dan Bali.
Belum secara detil mempertimbangkan wilayah lain yang bila dihadapkan
dengan sarana-prasarananya dan ketersediaan infrastruktur masih sangat terbatas
dan berbeda dengan kondisi di P. Jawa. Sebagai
contoh pada subsidi BBM, menurut mereka yang berada didaerah pedalaman, ada
atau tidak ada subsidi, harga BBM sudah sangat mahal dan mereka berfikir
apabila kebijakan ini dapat diterapkan diseluruh wilayah Indonesia, maka di
Wamena, kiwirok, Kerom, Sangihe, Morotai, Labuha dan daerah lainnya, mestinya
dapat menggunakan premium dengan harga sama yaitu Rp.4.500,-. Pada
kenyataannya diwilayah tersebut harganya bisa mencapai 3 sampai 5 kali lipat
harga di Jawa. Hal inilah yang dinilai bahwa banyak kebijakan yang hanya
berorientasi bagi wilayah jawa.
c. Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, yang berkembang menjadi krisis
multidimensional, sampai sekarang masih
dirasakan oleh rakyat dan masih belum dapat menghapuskan berbagai
permasalahan yang dihadapi rakyat
Indonesia. Krisis tersebut telah memicu memunculkan
gerakan reformasi[2]
yang mengusung beberapa tuntutan diantaranya penegakan supremasi hukum,
penghormatan hak azasi manusia dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme,
desentralisasi pemerintahan melalui otonomi daerah, kebebasan pers serta
kehidupan yang demokratis. Beberapa
agenda reformasi telah dapat terlaksana meskipun belum sempurna, namun masih
banyak yang masih bertahan, bahkan menjadi lebih parah diantaranya adalah
Korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi semakin merajalela, melibatkan
berbagai strata, apalagi dengan desentralisasi pemerintahan, otonomi yang
diharapkan dapat mempercepat pemberdayaan rakyat, ternyata justru menambah
wilayah korupsi. Korupsi merupakan
salah satu sikap yang mengingkari semangat Nasionalisme, karena hanya
mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Kolusi juga masih berkembang dan
banyak kasus yang muncul dipengadilan sebagai akibat dari praktek kolusi. Bahkan nepotisme semakin berkembang, sebagai
upaya untuk memuluskan jalan agar korupsi dan kolusi dapat berlangsung
mulus. Penempatan jabatan, sangat
dipengaruhi oleh “Rezim”, tidak mempertimbangkan “kinerja dan prestasi yang
baik” tetapi mempertimbangkan “ mereka yang mau diajak kerjasama atau mereka
sebagai kerabat” meskipun mereka yang dipilih adalah mereka yang “tidak
memiliki kompetensi, tidak memiliki visi
membangun dan tidak memiliki integritas ”.
“ Kesalahan” dalam agenda ini mengakibatkan lambatnya pembangunan,
karena proses menejemen dalam organisasi tidak diawaki oleh mereka yang
berkemampuan dibidangnya. Banyak
kelompok masyarakat yang putus asa dan memilih memanfaatkan para rentenir yang
pada akhirnya justru menjerat leher yang pada ujungnya masyarakat semakin
terpuruk dalam kemiskinan.
3. Peran TNI dalam proses mewujudkan wawasan kebangsaan dan
nasionalisme dilingkungan masyarakat.
Wawasan
kebangsaan bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat kebangsaan,
seperti yang tercermin pada semangat perjuangan melawan penjajahan dan
mempertahankan kemerdekaan, mendorong terwujudnya kehidupan yang harmonis,
menjaga keutuhan bangsa, mendorong tercapainya cita-cita dan tujuan nasional[3]. Organisasi militer saat ini menjadi
satu-satunya institusi yang bersifat nasional yang tidak mengenal suku bangsa
dan etnis dalam menempatkan awaknya dalam organisasi. Kondisi ini memungkinkan TNI untuk dapat
mengembangkan wawasan kebangsaan dalam organisasinya. Namun demikian, implementasi kedalam
masyarakat tidak akan semudah seperti penerapan dalam organisasinya sendiri,
karena penerapan di masyarakat dan lingkungan masih menghadapi berbagai
permasalahan seperti yang diuraikan pada pasal terdahulu. Namun demikian sebagai organisasi yang
bersifat nasional, TNI akan berusaha semampu organisasinya untuk dapat
mendukung kebijakan pemerintah dalam hal ini untuk mewujudkan wawasan
kebangsaan dan Nasionalisme tidak hanya bagi organisasinya, tetapi juga kepada
masyarakat dan lingkungannya.
Dalam pelaksanaannya, implementasi 4
pilar berbangsa dan bernegara tetap membutuhkan sebuah kondisi yang
memungkinkan agar setiap institusi dapat menyebarluaskan kebijakan negara
kedalam masyarakat. Proses awal yang
perlu dilakukan adalah dengan menerapkan menejemen yang akuntabel, dimulai dari penyusunan rencana yang terperinci,
sehingga dapat dipedomani oleh setiap satuan pelaksana. Sebelum menentukan pelaksana dalam
pengorganisasian, terlebih dulu TNI harus menyiapkan Sumber daya Manusia sebagai
pelaksana dengan memberikan pembekalan pengetahuan dan metode yang akan diterapkan
nantinya di masyarakat. Pada proses
pelaksanaan, tidak dapat dilakukan secara simultan diseluruh wilayah, karena
setiap wilayah menghadapi kondisi yang berbeda, sehingga hanya pada wilayah
yang kondusif yang sudah dapat berkonsentrasi untuk menerima pengaruh dan
ajakan positif dalam mengembangkan wawasan kebangsaan dan meningkatkan jiwa
nasionalisme. Pada saatnya program
dilaksanakan, TNI berkewajiban untuk menetapkan bahwa program harus akuntabel,
dengan perencanaan anggaran yang jelas, pentahapan yang benar, penetapan
sasaran pencapaian program yang jelas agar proses pengawasan program dan
evaluasi hasil pelaksanaan program dapat terlaksana dengan baik serta program
dapat dipertanggung-jawabkan.
4. Koordinasi
dan kerjasama antar Institusi.
Untuk tercapainya pelaksanaan program
mewujudkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme, membutuhkan suatu kondisi yang
memungkinkan, sehingga perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan
pemerintah pusat dan daerah untuk mengurangi dan meneliminir tantangan yang
masih ada. Berbagai tantangan yang
disampaikan pada pasal 2 diatas, harus dilakukan koreksi dan dilakukan
perbaikan. Menyelesaikan berbagai
permasalahan yang terjadi secara tuntas, jangan hanya yang terlihat dipermukaan
saja, tetapi harus selesai sampai kepada akar permasalahan. Setiap institusi yang bertanggungjawab
terhadap permasalahan yang muncul didaerah harus dapat menuntaskan permasalahan
sesuai wilayah tugas masing-masing dan menggerakkan daerah sesuai dengan
kebijakan nasional dibidangnya.
Beberapa kondisi yang harus diperbaiki, karena akan menentukan
keberhasilan program ini, harus dapat dieliminir yaitu :
a. Menyelesaikan berbagai permasalahan dan
konflik sosial di masyarakat secara tuntas, jangan sampai meninggalkan residu
yang akan memunculkan permasalahan yang sama dimasa mendatang.
b. Para elit Politik dan pejabat negara,
harus dapat melupakan kepentingan pribadi dan golongannya, memprioritaskan
perhatiannya kepada kepentingan bangsa dan negara. Bila dapat diterima, setiap pejabat negara
wajib melepaskan jabatan dan keanggotaan
partai, sehingga tanggungjawab jabatannya hanya kepada negara, tidak lagi
dipengaruhi oleh kebijakan partai, yang hanya akan mengurangi keseriusannya
dalam mengelola negara dan menghilangkan persaingan antar kementrian dan
institusi, meningkatkan loyalitas kepada pimpinan negara dan program nasional.
c. Menekan serendah mungkin angka korupsi,
dengan langkah langkah yang membangun, diantaranya meningkatkan penghasilan
dengan menyetarakan pendapatan pejabat negara dan pegawai pemerintah negara
dengan yang diterima oleh para pejabat negara dan pegawai pemerintah di negara
– negara dalam satu kawasan.
Menghilangkan praktik kolusi yang merugikan keuangan negara dan mutu
pembangunan serta menempatkan awak organisasi sesuai dengan kebutuhan
kompetensi jabatannya, sehingga pertimbangan pemilihan awak organisasi dinilai dari kemampuan, kompetensi, kinerja
dan prestasi, bukan karena kedekatan dan yang dapat diajak “bekerjasama” untuk
hal yang negatif, agar setiap organisasi dalam negara menjadi organisasi yang
maju dan modern yang dapat berprestasi setara dengan organisasi internasional.
5. Kesimpulan.
Masih banyak agenda yang menjadi
tantangan Bangsa Indonesia dan harus dapat ditemukan jalan keluarnya. Permasalahan mendasar menyangkut “
kepentingan Nasional” masih belum seluruhnya mendapat perhatian, yang
memunculkan problem dalam negeri, namun dinamika mengatasinya hanya bertumpu
kepada institusi tertentu.
Apabila semua tantangan seperti yang disampaikan
pada pasal terdahulu sudah dapat diselesaikan dan para elit politik serta
pejabat pemerintah mampu menjadi tauladan, niscaya program mewujudkan wawasan
kebangsaan dan nasionalisme melalui 4 pilar berbangsa dan bernegara akan dapat
terseleng-gara dengan baik dan secara bertahap sasaran program dapat
tercapai. Namun sebaliknya apabila
tantangan yang ada tidak dapat diselesaikan secara tuntas, maka program ini
hanya akan sia-sia, karena kondisi kejiwaan masyarakat tidak memungkinkan untuk
dapat menerimanya.
TNI
dalam mengimplementasikan 4 pilar berbangsa dan bernegara kedalam organisasi
sendiri tidak menghadapi hambatan, karena saat ini hanya TNI satu-satunya
organisasi yang “Nasional” yang dapat menerapkan 4 pilar berbangsa dan
bernegara, tanpa pengaruh sosial yang berarti.
Para prajurit TNI juga harus
dapat memberi contoh yang nyata dilingkungan masyarakat melalui penerapan 8
wajib TNI secara konsisten untuk menunjukkan bahwa TNI dimanapun berada
memiliki budaya positif yang dapat disosialisasikan dan dapat berpengaruh
kedalam kehidupan masyarakat disekitar pangkalan mereka.
Catatan:
Pasal 22 UU RI nomor 32 tahun
2004, yaitu :
1) Melindungi
masyarakat, menjaga persatuan,kesatuan dan kerukunan nasional,serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
3) Mengembangkan
kehidupan demokrasi.
4) Mewujudkan
keadilan dan pemerataan.
5)
Meningkatkan
pelayanan dasar pendidikan.
6)
Menyediakan
fasilitas pelayanan kesehatan.
7)
Menyediakan
fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
8)
Mengembangkan
sistem jaminan sosial.
9)
Menyusun
perencanaan dan tata ruang daerah.
10)
Menembangkan
sumber daya produktif didaerah.
11)
Melestarikan
lingkungan hidup.
12)
Mengelola
administrasi kependudukan.
13)
Melestarikan
nilai sosial budaya.
14) Membentuk
dan menerapkan peraturan perundang undangan sesuai dengan kewenangannya.
15)
Kewajiban
lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar