Mengevaluasi beberapa kasus yang pernah terjadi didalam negeri, dinilai bahwa
proses penangannya agak terlambat yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan
dalam jumlah yang cukup besar. Trend baru yang berkembang dalam
bentuk aksi anarkhis, konflik komunal dan aksi yang menentang pemerintah, serta
sikap menantang dalam sengketa perbatasan negara, belum dapat diselesaikan
secara tuntas dan masih menyisakan residu, merupakan akibat yang ditimbulkan
oleh belum tuntasnya penentuan lembaga yang bertanggungjawab menyelenggarakan
dan mengelola fungsi keamanan.
Masih adanya konflik vertikal maupun horizontal, sangat penting
untuk mendapat perhatian khusus dari pemerintah dalam menemukan akar permasalahan
dan solusi untuk menuntaskan permasalahannya. Munculnya konflik
sosial dimasyarakat, dapat terjadi karena sinergi antar lembaga pemerintah dan
lembaga kemasyarakatan belum dapat terjalin dengan baik dan belum terjalin komunikasi yang sinergis.
Kerancuan konsep yang menimbulkan multi tafsir menyebabkan masing-masing
institusi memper-sepsikan sesuai kepentingan lembaga masing-masing. Negara
belum menemukan penjelasan yang pasti dalam pemahaman tentang keamanan
nasional; ancaman dari luar dan dari dalam negeri; pemahaman tentang pertahanan
negara; dan pemahaman keamanan dalam negeri serta kamtibmas.
Mempelajari tragedi yang pernah terjadi didalam negeri ( kasus Masyarakat
Madura dengan Dayak; Poso, Ambon/Maluku)
dan mencegah kemungkinan muncul tragedi serupa ditempat lain, maka
penyelesaian permasalahan harus diawali dengan memperkuat forum komunikasi
antar pimpinan daerah untuk mengelola keamanan berdasarkan ketentuan yang
berlaku dengan melaksanakan deteksi dini, Identifikasi, pengkajian, proses
pengambilan keputusan, dan pengendalian.
Deteksi dini menjadi elemen penting, karena data intelijen akan
menjadi bahan untuk melakukan identifikasi, analisis/pengkajian dan sebagai bahan pertimbangan dalam proses
pembuatan keputusan, sebagai dasar untuk melakukan tindakan pencegahan
sebagai sikap proaktif.
Bidang pertahanan, difahami oleh pemerintah daerah bukan menjadi
wewenangnya, yang menyebabkan interaksi,
koordinasi dan sinkronisasi dengan TNI kurang efektif. Kondisi ini
menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan kerjasama dalam bidang pemberdayaan
wilayah pertahan-an, meskipun bila didalami, pemerintah daerah
sebenarnya merupakan institusi terdepan dalam melaksanakan pemberdayaan wilayah
pertahanan sesuai dengan pasal 22 Undang-undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang
otonomi daerah. Namun kewajiban
pemerintah daerah otonom ini belum difahami secara mendalam oleh para pejabat
Kowil, sehingga kowil belum dapat menempatkan diri untuk dapat berperan
dalam program yang dirancang pemerintah daerah sebagai implementasi pasal tersebut.
Pemahaman tentang tugas pemberdayaan
wilayah pertahanan masih belum sesuai harapan, karena kowil berusaha
melaksanakan tugas ini secara mandiri, sementara secara akuntabilitas, sangat
tidak mungkin dapat menyelenggarakan secara mandiri karena faktor penghambat utama
yang dihadapi yaitu keterbatasan anggaran dan kewenangan diwilayah.
Penanganan konflik vertikal dan
horizontal, menjadi tugas institusi sipil, meskipun pada kondisi tertentu akan
berimplikasi terhadap tugas TNI dalam pelaksanaan operasi militer selain
perang. Pemerintah daerah seharusnya dapat berperan sebagai kompartemen
daerah yang harus dapat memanfaatkan dan memerankan semua sumberdaya
didaerah dalam kompartemen, menetapkan pola, metode dan tehnik pelaksanaan
kegiatan setiap institusi dan membangun hubungan tata kerja antar institusi dan
antar organisasi didaerah. Fungsi pembinaan bukan menjadi
tugas salah satu institusi saja, namun merupakan wilayah kerja semua institusi
sesuai dengan bidang tugasnya, sehingga Institusi-institusi sipil berperan
dalam menjalankan proses pemberdayaan wilayah, agar masyarakat sadar bahwa
mereka juga terlibat secara langsung dalam pembangunan dan upaya negara dalam
menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Kebera-daan
unsur TNI dalam proses pembinaan adalah menjadi bagian dari kosep pembinaan
yang diterapkan pemerintah sebagai unsur bantuan, implementasi dari tugas
pembantu tugas pemerintah didaerah.
Keterlibatan TNI dalam pembinaan, lebih banyak dalam proses yang
lebih ditujukan untuk menyatukan persepsi agar rakyat secara sadar mengerti dan
memahami hak dan kewajibannya dalam pembelaan negara dan secara sadar mau
membantu tugas militer, baik pada masa damai maupun pada masa terjadi konflik
sampai pada situasi perang, yang dalam doktrin pertahanan Negara lebih dikenal
dengan istilah Kemanunggalan TNI -
Rakyat.
Untuk mengendalikan potensi kerusuhan sosial dalam bentuk
konflik vertikal maupun horozontal, menjadi tugas institusi sipil untuk
menemukan secara lebih dini akar parmasalahan dan mencari jalan keluar serta
menyelesaikannya. Permasalahan yang sering timbul adalah akibat
tugas sipil yang terlambat, sehingga institusi sipil harus menyadari bahwa inti
pelaksana penanganan konflik menjadi kewajiban mereka. Namun
demikian bila terdapat permasalahan yang muncul dalam bentuk separatis
bersenjata, menjadi sebuah “implikasi “ yang menjadi bagian tugas militer dalam
tugas operasi militer selain perang. Kekuatan TNI digunakan dalam rangka
pelibatan (bukan pelaku utama) dan hanya berperan “mengatasi separatis
bersenjata”, bukan sebagai aktor resolusi konflik, karena permasalahan selain
“separatis bersenjata” tetap menjadi bagian dari institusi sipil untuk
mengatasinya.
Dalam kaitan menjaga kemungkinan muncul implikasi dari tugas
institusi sipil, TNI tetap mempersiapkan organisasinya agar tetap dalam
kondisi kesiapsiagaan yang prima, sehingga setiap saat terjadi peningkatan
eskalasi, dimana perlawanan dilakukan dalam bentuk perjuangan bersenjata, maka
TNI dapat segera mengambil alih untuk menghancurkan kekuatan kelompok
separatis bersenjata, dengan tetap berpedoman bahwa pelaksanaan
tugas ditentukan oleh keputusan dan kebijakan politik negara.
Negara berkewajiban untuk menyediakan
fasilitas dan memberikan pelayanan sosial yang baik kepada rakyat.
Beberapa hasil analisis yang diterbitkan menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat
dapat dinilai dari seberapa besar Negara mengalokasikan anggarannya untuk pelayanan
sosial bagi rakyatnya, namun hasil pengamatan para peneliti menyimpulkan bahwa
pada kenyataannya tidak semua Negara dengan
pendapatan yang besar mengalokasikan anggaran dengan prosentase besar bagi
pelayanan sosial, karena kebijakan tersebut tergantung dari keputusan pimpinan
Negara. Dari berbagai pandangan tentang pelayanan sosial bagi
rakyat, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa Negara tidak harus
menunggu memperoleh pendapatan besar untuk memberikan pelayanan yang baik bagi
rakyatnya. Namun pada akhirnya Negara dengan kemampuan yang
besar dan mengalokasikan anggaran pelayanan sosial yang besarlah yang dapat
memberikan kesejahteraan rakyat lebih baik.
Rakyat yang sejahtera, dengan sistem pelayanan sosial yang diselenggarakan
pemerintahan yang dapat dinikmati oleh rakyat, akan memberikan ketentraman dan
keteraturan dalam lingkungan masya-rakat. Ketentraman dan
ketertiban masyarakat yang baik yang diwujudkan oleh pemerintah melalui
penciptaan sistem dan pelayanan sosial yang baik bagi rakyat ( dalam hal ini
telah dituangkan dalam UU RI nomor 32 pada pasal 22). Pelayanan sosial yang
baik bagi rakyat, akan meningkatkan kesetiaan rakyat dalam mendukung kebijakan
pemerintah dan dapat mencegah terjadinya intervensi dan propaganda yang
dilakukan oleh fihak lain sebagai pengaruh negatif terhadap rakyat,
sehingga lingkungan kondusif dapat dicapai.
Melalui sistem pelayanan sosial yang baik, negara akan mendapatkan kesetiaan
dari rakyat dan sebaliknya bila negara menerapkan sistem pelayanan sosial yang
tidak menyentuh kebutuhan rakyat, maka kesetiaan rakyat terhadap negara akan
lenyap dan membuka peluang terjadinya provokasi, propaganda dan hasutan yang
menyebabkan terjadinya konflik sosial dimasyarakat.
Disusun
pada September 2012 dan di Up date
Nopember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar