Minggu, 29 November 2015

PERAN TNI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA



KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA  DI INDONESIA
HUBUNGANNYA DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA


1.         Pendahuluan
Posisi geografi Indonesia yang menjadi pertemuan lempeng tektonik di barat dan di timur indonesia, faktor hidroklimatologi dan kerusakan ekosistem, menjadikan wilayah Indonesia rawan bencana. Dalam definisi yang mengacu pada UN-ISDR (International Strategy for Disaster Reduction), bencana didefinisikan sebagai “gangguan serius terhadap suatu sistem, komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi atau lingkungan yang meluas melampaui kemampuan mereka (komunitas atau masyarakat yang terkena dampak) untuk mengatasinya dengan sumber daya mereka sendiri“.
Peran pemerintah dalam penanganan bencana sangat vital, meskipun dari berbagai unsur diluar pemerintah juga telah melakukan upaya-upaya menangani masalah bencana sebagai dukungan kepada pemerintah serta kepedulian sosial. Bencana alam berpengaruh langsung terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi tugas pemerintah untuk mengelolanya, karena berdampak sangat  kompleks, dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, politik, sosial, bahkan sampai kepada tegak atau runtuhnya sebuah negara dan oleh karenanya dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, pemerintah Indonesia menetapkan landasan hukum yang mengatur mengenai penanggulangan bencana, yang disahkan pada 26 April 2007 menjadi Undang-Undang No. 24/2007 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana.   Pemerintah berharap dapat meningkatkan sinergi berbagai pihak dalam usaha penanggulangan bencana dan semua pengaruhnya di Indonesia, dengan berpedoman kepada undang-undang tersebut.   Selain Undang-undang tentang penanggulangan bencana, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait langsung dengan penanggulangan bencana, yaitu   PP no 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan bencana, PP No 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana dan PP No 22 tahun 2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana alam.   Mempelajari undang-undang dan peraturan pemerintah ini, terdapat beberapa permasalahan berkaitan dengan tugas TNI, terutama dalam operasi militer selain perang (OMSP) , karena beberapa faktor yang tidak diatur secara jelas dan dapat menimbulkan permasalahan bagi pelaksanaan tugas TNI dalam penangulangan bencana alam.


2.         Tinjauan umum tentang peraturan dan perundangan berkaitan tugas TNI dalam penanggulangan bencana.
Berkenaan dengan penanggulangan bencana alam, pemerintah telah menerbitkan undang-undang dan peraturan pemerintah, antara lain Undang-Undang No. 24/2007 tentang penanggulangan bencana, Peraturan pemerintah (PP) no 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), PP No 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana dan PP no 22 tahun 2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana.   Undang-undang 24/2007 tentang penanggulangan bencana menyatakan bahwa BNPB dapat mengerahkan instansi lain termasuk didalamnya TNI, namun demikian pada PP 21/2008 tentang penyelenggaraan Penanggulangan bencana, mekanisme dan prosedur permintaan, penerimaan dan penggunaan sumberdaya manusia, alat peralatan dan logistik dari BNPB kepada TNI dan instansi lain tidak dijelaskan, termasuk juga tidak dijelaskan mekanisme dan prosedur   pelibatan TNI termasuk bagaimana hubungannya dengan pemerintah daerah.   Sehingga dalam penanggulangan bencana, kapan permintaan dapat dilakukan, berapa kekuatan yang dapat dilibatkan, tugas apa yang akan diberikan dan kapan tugas tersebut selesai, karena ketentuan operasi yang dianut oleh TNI selalu memuat pembatasan aspek tugas, waktu dan kekuatan yang digunakan.   Apabila hal ini diabaikan, maka TNI sebagai institusi telah mengingkari doktrinnya sendiri.   Disisi lain, dalam PP no 22 /2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana, juga tidak mengatur bagaimana peran dan tugas TNI dalam pendanaan serta pengelolaan bila menerima bantuan.   Apabila TNI menggunakan kekuatan dan sumberdaya lain yang dimiliki, akan memancing munculnya permasalahan baru yang bertentangan dengan aturan penggunaan anggaran dan dapat dianggap sebagai tidak sesuai peruntukannya atau bahkan tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena sejauh ini, TNI tidak memiliki struktur anggaran untuk penanggulangan bencana.   Tanpa ada ketentuan yang mengatur prosedur dan mekanisme yang jelas dan dilandasi adanya aturan yang ditetapkan pemerintah, akan menimbulkan kerawanan bagi TNI dan jajarannya, terutama apabila terjadi korban sebagai akibat melakukan (tugas) penanggulangan bencana, tanpa dilandasi perintah operasi yang syah. 
Dalam struktur organisasi penanggulangan bencana, TNI menjadi salah satu anggota pengarah penanggulangan bencana, namun demikian bagaimana TNI melaksanakan tugas sebagai pengarah tidak dijelaskan. Kondisi  seperti ini berpengaruh negative bagi TNI karena tidak dapat menguraikan tentang siapa, berapa kekuatannya dan apa perlengkapannya yang harus dan menjadi tanggungjawab TNI untuk diarahkan,  apa pengarahan tugasnya, kapan tugas penanggulangan dimulai dan kapan selesai, dimana tugas tersebut dilakukan, bagaimana melakukannya dan mengapa tugas penanggulangan bencana dilakukan (apakah ada permintaan atau tugas yang dinyatakan sendiri), karena semua mengundang resiko yang harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai aturan yang berlaku. Tanpa adanya aturan dan ketentuan yang dipedomani, akan menyebabkan kerentanan terhadap institusi TNI yang dapat mengakibatkan kerugian secara institusional.
Apabila dikaitkan dengan aturan yang lain yang mengikat kepada TNI, pada UU 34/2004 tentang TNI, maka pengerahan kekuatan TNI hanya menjadi kewenangan Presiden, sehingga apabila Ketua BNPB dinyatakan dapat mengerahkan kekuatan TNI, menjadi sesuatu yang bertentangan.   Selain itu, dalam undang-undang yang sama, bahwa operasi militer selain perang (OMSP) hanya dapat dilakukan dengan berdasarkan kebijakan politik Negara yang berarti akan dilakukan oleh TNI setelah kerahkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. 
3.         Peran dan keterlibatan Militer dalam penanggulangan bencana serta hubungannya  dengan system pertahanan Negara di Indonesia.     Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) dibentuk sebagai pusat koordinasi bagi berbagai institusi dan lembaga yang terlibat dan berperan dalam penanganan bencana. Koordinasi antar lembaga sering kali terbentur oleh masalah birokrasi serta aturan, maka hingga saat ini sulit bagi BNPB dapat menjadi solusi menyeluruh dari semua permasalahan bencana di Indonesia.  Selain itu, terdapat beberapa unsur penting dalam sistem pertahanan Negara Indonesia telah dihapus oleh pemerintah yaitu Pertahanan Sipil (Hansip)  dan menjadi faktor penghambat bagi pemerintah /pemerintahan daerah dalam mengelola sumberdaya pada saat dibutuhkan.
Pertahanan sipil atau Civil defence telah diterapkan di sebagian besar negara berdaulat, keberadaan dan perannya sangat menonjol dalam mengantisipasi berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat, terutama diarahkan kepada upaya mengatasi dan membantu korban bencana dan keadaan darurat sebagai bentuk bantuan kemanusiaan.   Konsep awal yang digunakan oleh negara-negara tersebut adalah melindungi masyarakat sipil dari bencana perang dimana kemungkinan timbul korban sipil baik jiwa maupun harta benda dalam jumlah besar.    Setelah berakhirnya perang dingin, pertahanan sipil (hansip) memiliki tujuan yang lebih luas dan terfokus untuk menghadapi keadaan darurat dan bencana secara umum, sehingga konsep operasi kekuatan hansip berkembang  dengan menyelenggarakan program dalam kegiatan menejemen krisis, menejemen darurat, kesiapsiagaan menghadapi situasi darurat, rencana menghadapi kontijensi, pelayanan kedaruratan dan perlindungan rakyat yang diarahkan kepada kegiatan penyelamatan hidup, meminimalkan kerusakan/kehancuran terhadap properti dan mengelola kesinambungan produksi industri pada saat terjadi serangan musuh ( dalam situasi perang).    
Hansip dibeberapa negara, diantaranya di Negara India, yang dideklarasikan pada tahun 1962, pada saat negara menghadapi agresi dari negara China dan berlanjut pada konflik India Pakistan tahun 1965.   India memerankan hansip sebagai kekuatan yang sangat eksis yang disyahkan secara hukum yang ditetapkan pada tahun 1968.     Sedangkan di Singapura, hansip juga terselenggara dengan melatih warga negaranya untuk dapat melakukan tugas pertolongan, melakukan evakuasi, pertolongan pertama pada kecelakaan dan pengendalian kehancuran.    Singapura melatih rakyatnya agar terbiasa dengan prosedur menghadapi keadaan bahaya dan bagaimana melindungi diri yang didukung dengan perencanaan menghadapi bahaya, bencana dan dukungan darurat untuk rakyat.   Selain itu hansip juga disiapkan sebagai komplemen pada sistem pertahanan yang diterapkan di negara Singapura.   Hansip diberbagai negara sudah terorganisir secara terstruktur dan menjadi bagian dari kementrian dalam negeri atau sebagai badan independen yang dilindungi oleh undang-undang, tugas dan peran yang jelas, program dan anggaran yang jelas yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah.
            Di Indonesia, hampir semua rakyat sudah sangat familier dengan hansip, bahkan semua pegawai negeri, pada hari tertentu diwajibkan mengenakan seragam hansip dengan monogram didada kiri tertulis “LINMAS”    Namun pengenalan rakyat Indonesia kepada Hansip mempunyai “konotasi” berbeda dengan apa yang menjadi peran dan tugasnya dalam sebuah negara, karena  bila menyebut hansip, maka mereka membayangkan orang berseragam hijau muda, bersepatu lapangan dan berasal dari kelompok masyarakat menengah kebawah, bahkan cenderung sebagai masyarakat golongan bawah, yang ditugasi menjaga dan membantu lalu lintas dan keamanan pada acara resepsi atau acara-acara yang di selenggarakan oleh kelompok menengah keatas.    Peran hansip sampai saat sekarang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, meskipun hanya melakukan tugas tugas sepele, mereka selalu hadir pada saat dibutuhkan terutama pada even-even yang diselenggarakan oleh desa, kelurahan, kecamatan atau pada resepsi-resepsi yang digelar dilingkungan masyarakat.     Namun secara institusional belum memiliki wadah yang dapat menjamin hansip dapat menyelenggarakan program dengan anggaran yang jelas yang didukung pemerintah, bahkan cenderung belum terorganisir secara jelas dan keberadaannya masih terkesan antara ada dan tiada, karena bila mengacu kepada peraturan Mendagri nomor 40 tahun 2011 tentang Pedoman organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamomg Praja (satpol PP) ,  yang ada hanya Linmas yang menjadi bagian dari organisasi Satpol PP.    Parlemen yang mewakili suara rakyat, sampai sekarang masih menentang rancangan undang-undang komponen cadangan, sementara peluang yang dimiliki untuk memerankan rakyat dalam upaya membantu kepentingan rakyat sipil melalui peran Hansip juga tidak mendapat perhatian.
            Sebagai bangsa yang besar dan kaya layaknya Indonesia, dengan geografi yang berada diposisi silang, permasalahan bencana dan kedaruratan sangat mungkin terjadi, tetapi pemerintah justru menghilangkan struktur hansip, yang ada hanya para “LINMAS” yang jumlahnya jutaan di Indonesia,  dengan tugas dan tangungjawab yang tidak jelas, karena mereka adalah pegawai negeri sipil, tanpa pedoman pelaksanaan tentang apa tanggungjawab,  kapan dan bagaimana bila bertugas sebagai Linmas. Terdapat indikasi bahwa keberadaan hansip di Indonesia sengaja disamarkan, seolah terdapat ketakutan atau kecurigaan, karena keberadaan hansip hanya akan menjadikan mereka sebagai tangan-tangan TNI,  padahal dengan menghilangkan struktur civil defence , sangat merugikan negara dalam bidang pertahanan Negara dan perlindungan terhadap kepentingan sipil dalam menghadapi bencana.    
Sebelum era reformasi, keberadaan hansip sangat jelas dan diakui secara konstitusi dimana dalam UU no 2 tahun 1988 sangat jelas mengatur tentang hansip.   Namun setelah reformasi dan terbit UU no 3 tahun 2004 tentang Pertahanan Negara, keberadaan hansip hilang sama sekali, padahal pertahanan Negara tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab TNI tetapi menjadi tugas bersama seluruh komponen bangsa.    Dari keadaan ini menjadikan sebuah indikasi bahwa ada niat dan diimplementasikan dalam penyusunan undang-undang pertahanan yang dengan sengaja menghilangkan keberadaan hansip, karena anggapan dan pemikiran yang salah terhadap tugas pertahanan negara, sehingga dengan hilangnya keberadaan hansip,  niat untuk mengkebiri TNI dianggap berhasil, padahal dengan hilangnya keberadaan hansip, sangat merugikan negara dari manapun sudut pandangnya.
            Buku doktrin pertahanan yang diterbitkan Kementrian Pertahanan menyatakan bahwa perang dalam arti invasi dan agressi ke wilayah Indonesia sangat kecil kemungkinannya, namun Indonesia masih menghadapi banyak permasalahan yang berhubungan dengan perlindungan kepentingan sipil, berkaitan masih adanya aksi terror, masih ada separatisme, yang membutuhkan banyak campur tangan pemerintah untuk mengatasinya dan didalamnya juga membutuhkan kehadiran dan peran rakyat sipil yang terorganisir, sehingga kegiatannya dapat terselenggara dengan menejemen yang jelas.   Demikian juga dengan kemungkinan terjadinya bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia.   Kegiatan kemanusiaan yang diselenggarakan masih membutuhkan kehadiran kekuatan rakyat yang terlatih dan terorganisir, baik untuk penyelamatan, pertolongan maupun pengungsian dengan segala aspek yang muncul dari kegiatan tersebut.   Kegiatan seperti itu mustahil bila hanya dilakukan oleh badan yang sudah dibentuk pemerintah seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), atau Badan Search and Resque Nasional (Basarnas), karena keterbatasan jumlah personel dan peralatan.   Belum lagi menghadapi kendala birokratis bila harus mengerahkan kekuatan Pemadam kebakaran, sukarelawan Dokter dan para medis, organisasi radio dan organisasi yang lain yang dibutuhkan dalam mengatasi bencana.  
            Akan sangat menguntungkan apabila organisasi hansip dilembagakan, meskipun hanya dalam bentuk organisasi kerangka.    Melihat pengalaman yang sudah terjadi dalam penanggulangan bencana, pemerintah telah menyiapkan pasukan reaksi cepat dari lingkungan TNI yang dalam operasionalnya dibawah koordinasi BNPB, organisasi inipun sangat terbatas dari tinjauan kebutuhan penanggulangan bencana.   Sedangkan unsur lain yang terkait dengan penyelamatan rakyat bergerak masing-masing tanpa didukung dengan menejemen yang memadai, yang menyebabkan mengabaikan efektifitas dan efisiensi serta menyulitkan upaya kontrol.   Apabila organisasi hansip dilembagakan, meskipun dalam bentuk kerangka, maka unsur-unsur organisasi yang bertugas operasional dilapangan, dapat segera diorganisir sesuai dengan kebutuhan dilapangan.   Dalam kondisi seperti ini, maka menejeman menjadi lebih jelas, dukungan jelas sasaran kegiatan jelas, yang memudahkan pengendalian dan pengawasan.   Dalam operasionalnya, hansip dapat langsung berkoordinasi dengan BNPB tentang pelaksanaan tugas, sehingga setiap komponen yang bergerak dilapangan dalam penanggulangan bencana dapat melibatkan unsur-unsur lain yang lebih mudah berkoordinasi dan bekerjasama.  Dalam kasus lain, hansip yang diterapkan negera lain didunia, memiliki kerangka struktur “earmark”, pada setiap bentuk operasi dan secara otomatis bergabung dengan organisasi operasional, baik menghadapi bencana alam sampai dengan bencana perang serta kondisi kedaruratan lain  dan dapat menentukan unsur–unsur apa saja yang dibutuhkan dalam mendukung suatu bentuk operasi yang digelar oleh Pemerintah dan Negara.   Oleh karenanya diharapkan, pemerintah dalam hal ini Kementrian pertahanan, segera menyadari pentingnya elemen Civil defense dalam doktrin dan strategi pertahanan sebuah negara.
         Jika BNPB menjadi pusat koordinasi, maka prosedur dan tata kerja secara khusus harus disusun dan diterbitkan secara luas, karena berbagai masalah perbedaan system komando yang berbeda dalam setiap institusi.   Sebagai contoh dalam militer berlaku komando secara tegak lurus, maka dalam situasi apapun, organisasi TNI hanya akan bergerak dibawah perintah pimpinan instansi, bukan dari pejabat BNPB/BNPBD.  Meskipun telah ditetapkan organisasi Pasukan reaksi cepat penanggulangan bencana, yang ditetapkan pemerintah untuk membantu penanganan bencana,  maka sebagai pusat koordinasi, BNPB/BNPBD tidak layak memberi komando secara langsung kepada unsur lain terutama Militer dan hanya dapat dilakukan bila tugas kepada TNI diberikan secara spesifik, sehingga secara otonomi militer akan mengelola tugasnya tanpa campur tangan /kendali lain  selain unsure pimpinannya sesuai rantai komando yeng berlalku. Meskipun hasil pelaksanaan tugas tetap menjadi bahan lapporan dari BNPB/BNPBD, karena dukungan pembiayaan tetap berada di institusi koordinator penanggulangan bencana.
4.      Kebijakan penanggulangan bencana alam, tidak menyebutkan peran penting TNI sebagai bagian dalam mitigasi bencana dan aksi penanggulangan lainnya, juga belum mengatur menejemen penerimaan bantuan.   Penanggulangan bencana yang diatur dalam undang-undang 24/2007, telah menetapkan prinsip dasar penyelenggaraan penanggulangan bencana dan tahapan-tahapan beserta alur penyelenggaraan dari tiap tahap.  Namun demikian dalam tahap mitigasi, TNI tidak menjadi bagian dari penyelenggara, sehingga terkesan bahwa pemerintah sengaja menjauhkan TNI dengan rakyat.   Sedangkan apabila mendalami doktrin Militer, TNI menetapkan pembinaan territorial sebagai salah satu fungsi militer yang dalam pelaksanaannya  dalam mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan geografi dan demografi yang sangat erat kaitannya dengan penyelenggaraan mitigasi bencana.  Dengan ketiadaan pelibatan TNI dalam tahapan mitigasi, menimbulkan sebuah persepsi, bahwa seolah-oleh undang-undang ini sengaja diarahkan untuk mencegah kegiatan militer dalam pembinaan geografi dan demografi sebagai suatu upaya untuk mempersempit ruang gerak militer terutama dalam pembinaan territorial.  Militer hanya dilibatkan dalam tahapan tanggap darurat dan rehabilitasi, yang tidak menggambarkan keterlibatan militer dalam penanggulangan bencana, karena beberapa tahapan penanggulangan, TNI secara institusional tidak dilibatkan.    
         Undang-undang tentang penanggulangan bencana juga hanya membahas mengenai peran lembaga internasional, NGO internasional dan Perusahaan,  namun pembahasannya tidak secara eksplisit keterlibatan dan peran NGO/LSM lokal dan lembaga-lembaga kerelawanan. Keadaan ini memancing persepsi seolah yang menyusundraft bukan orang Indonesia, sehingga dengan pemberlakuan undang-undang ini, secara perlahan akan melemahkan kemampuan pertahanan Negara.   Selain itu sikap pemerintah yang telah menghapuskan struktur dan kelembagaan pertahanan sipil di Indonesia, ini juga terkesan dipengaruhi kekuatan asing.  
         Dalam hal proses dan prosedur koordinasi serta kerjasama antara pemerintah dengan  NGO atau Lembaga non-pemerintah, terlihat kurang sinergis dan kurang terkoordinasi karena belum ditetapkan ketentuan yang mengatur bagaimana NGO atau Lembaga non-pemerintah berkoordinasi dengan institusi pemerintah, sehingga sangat perlu disusun prosedur dan tata laksana keterlibatan NGO dan lembaga non pemerintah agar dalam penanggulangan bencana  dapat berjalan efektif tanpa menghambat peran dan keterlibatan NGO atau Lembaga non-pemerintah yang ingin memberikan dukungan.   Pelaporan penerimaan dan pendayagunaan sumbangan/bantuan yang dikoordinir oleh pihak non pemerintah perlu diatur untuk menjamin transparansi dan pengelolaan bantuan.  Setiap pihak yang melakukan penggalangan bantuan wajib melaporkan penerimaan dan pendayagunaan bantuan bencana kepada publik.  BNPB sebaiknya memiliki otoritas untuk pengesahan laporan pendayagunaan dana/logistik bantuan dari pihak-pihak lain dan berkewajiban untuk mempublikasikan kepada publik. Bantuan yang tidak diotorisasi melalui BNPB harus dinyatakan sebagai kegiatan illegal yang melanggar hukum, sehingga kelompok-kelompok yang melakukan penggalangan bantuan harus terdaftar dan melaporkan kegiatannya kepada BNPB untuk dilegalisasi.
         Penanggulangan bencana merupakan bagian tugas kementrian pertahanan dalam system pertahanan Negara, oleh karenanya, diharapkan TNI dapat memberikan saran masukan untuk mendorong pembentukan kembali struktur Pertahanan sipil dalam system pertahanan Negara, sehingga perlu penegasan keberadaan pertahanan sipil dalam undang-undang pertahanan atau disusun secara khusus tentang struktur dan organisasi Hansip di Indonesia, sehingga peran penyelamatan kepentingan sipil terwadahi dan terdapat organisasi yang secara khusus melaksanakan tugas yang saat sekarang belum ada awak/organisasi yang bertanggungjawab.
5.         Rekomendasi.   Pembentukan BNPB telah menjadi bagian dari solusi yang diinginkan pemerintah dalam menanggulangi bencana di Indonesia.   Namun demikian, agar penanggulangan bencana dapat lebih efisien dan resiko korban dapat ditekan serendah mungkin, maka perlu penyempurnaan dalam Undang-undang ini dan perlu menyusun aturan lain yang menyertainya, agar semua fihak yang terkait dalam upaya penanggulangan dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik dan mencapai hasil yang lebih optimal.  Secara luas, penanggulangan bencana yang berkaitan dengan system lain yang telah ditetapkan pemerintah sebagai suatu kebijakan Negara,  akan lebih baik bila sumberdaya, sarana/prasarana, infrastruktur yang dibutuhkan dapat dilengkapi sehingga memberi kemudahan dalam mengkoordinasikan penanggulangan bencana.  Apabila petunjuk pelaksanaan yang dibutuhkan tidak segera disusun, dapat menyebabkan efisiensi dan efektifitas tidak dapat dievaluasi atas penyelenggaraan penanggulangan bencana dan menimbulkan kerawanan lain dibeberapa bidang, terutama rakyat yang akan menjadi korban.
6.         Penutup.    Bencana dapat datang kapan saja, tanpa dapat diprediksi membuat penanganannya membutuhkan keterlibatan semua pihak, namun kerentanan atas kemungkinan terjadinya korban akibat bencana dapat dikurangi melalui tahapan mitigasi yang menguntungkan semua fihak.  BNPB dibentuk sebagai pusat koordinasi antara berbagai institusi dan lembaga yang berkaitan dengan penanganan bencana dan  karena beban pengelolaan dalam kaitan penanggulangan bencana ini, akan sangat menguntungkan apabila fihak lain yang memiliki akses baik sebagai bagian dari tugas atau kewenangan dalam upaya pengurangan resiko korban, dapat dikoordinasikan lebih luwes oleh BNPB,  sehingga dampak yang mungkin timbul dapat dikurangi dan dapat dikelola lebih awal untuk mencapai tujuan yang diinginkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar