Senin, 17 Maret 2014

MEPRIORITASKAN PENYEDIAAN FASILITAS UMUM SEBAGAI MINDSET BARU PEMBANGUNAN







Oleh   : J Syaifuddin, M.Si 

1.         Pendahuluan.   Pancasila merupakan landasan yang menjiwai perumusan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-undang dasar 1945.  Penerapannya dalam kehidupan bangsa Indonesia, diharapkan menjadi wujud dari nilai-nilai kesatuan dan persatuan, kekeluargaan dan kebersamaan yang menjadi pedoman dalam pola sikap, pola pikir dan pola tindak setiap warga negara  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.    Pada kenyataannya belum semua warga negara dapat menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari baik dalam berfikir, bersikap dan bertindak,   bahkan tidak jarang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.  
Pembentukan Negara Indonesia oleh para pendahulu, menempatkan dua visi yang saling berkaitan yaitu visi pertama adalah integrasi, yang dituangkan dalam lambang negara yaitu bhineka tunggal ika, yang menghendaki agar dalam pengelolaan negara, tetap memelihara identitas dan warisan kultural etnik dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia.   Hal ini juga secara nyata dituangkan pada pasal 18, 32 dan pasal 36 Undang-undang Dasar 1945.   Visi kedua adalah Asimilasi, sebagai bentuk menyatunya setiap Individu warga negara dengan etnis yang berbeda-beda, kedalam satu bangsa Indonesia dan dalam kaitan ini juga didukung dalam deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928 dan juga dituangkan pada pasal 1 dan pasal 27 Undang-undang Dasar 1945
         Nasionalisme menurut Bung Karno[1], bahwa nasionalisme adalah kesadaran bahwa tiap-tiap anggota bangsa adalah bagian dari suatu bangsa yang besar, yang berkewajiban mencintai dan membela negaranya, dan setiap anggota bangsa perlu menyadari bahwa harus mempunyai rasa tanggungjawab sebagai satu bangsa yang merdeka dan berdaulat, harus sadar bahwa mereka memiliki harga diri , martabat, kedudukan, tanggungjawab atas masa depan bangsa.   Setiap saat dia juga siap membela kepentingan bangsa dan negaranya, serta siap pula berkorban demi kelangsungan hidup, keutuhan dan kebesaran bangsanya.  
         Dalam era globalisasi, wawasan kebangsaan dan nasionalisme bangsa Indonesia masih mengandalkan landasan dan perekat  dari peristiwa simbolik dan rasa senasib  pada awal terbentuknya negara.   Namun apakah wawasan kebangsaan dan Nasionalisme dapat diwujudkan,  bila Kesenjangan sosial, KKN dan feodalisme masih menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan oleh bangsa Indonesia ?

2.      Tantangan dalam National Building.   Setelah berakhirnya perang dunia II, sebagian besar negara dibentuk berdasarkan pada etnik masing-masing, sehingga disebut sebagai sebuah negara bangsa, karena dalam sebuah negara hanya terdiri dari sebuah bangsa/etnik.   Paling tidak dalam sebuah negara terdapat etnik mayoritas, seperti  Belgia, yang terdiri bangsa Belanda,sebagai bangsa mayoritas ditambah bangsa perancis dan Jerman.   Bahkan setelah Uni Soviet runtuh, maka semenjak itu negara- negara yang sebelumnya menjadi bagian dari Uni telah berubah menjadi negara bangsa, setiap negara berpenduduk sesuai etnis tertentu, sebagai sebuah bangsa.  
         Bangsa Indonesia, merupakan negara dengan rakyatnya yang terdiri dari banyak suku bangsa dan dengan kesepakatan bersama telah membentuk sebuah negara yang diikat dengan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa bernegara satu, berbangsa satu dan berbahasa satu yaitu Indonesia.   Kesepakatan itu dapat terwujud sebagai bentuk rasa senasib dan seperjuangan untuk melepaskan diri dari kolonialisme.   Setelah Indonesia merdeka, dalam mengisi kemerdekaan, telah terjadi dinamika dan dalam perjalanannya masih menghadapi berbagai tantangan yang menjadi tugas negara untuk menyelesaikannya.    
a.      Kesenjangan sosial antara rakyat miskin dan kelompok kaya sangat dalam, pemerataan pembangunan, masih menjadi permasalahan yang sulit diselesaikan.  Dalam sistem demokrasi, institusi sipil yang memiliki kekuasaan besar, didominasi oleh individu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, bukan mengutamakan kepentingan pemberdayaan rakyat, yang bertentangan dengan jiwa dan semangat Nasionalisme.  Program mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan menjadi jalan yang sangat panjang karena belum menjadi prioritas dalam pelaksanaan pembangunan. 
         Didasari dengan Undang-undang dasar 1945, Indonesia membagi wilayah pemerintahannya menjadi beberapa daerah tingkat I dan tingkat II dan memberlakukan otonomi daerah, dimana  pada masa pemerintahan orde baru, kewenangan anggaran dan keuangan tersentalisir dipusat.  Setelah reformasi negara menerapkan desentralisasi dengan membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk  otonomi daerah.  Namun semangat otonomi, ternyata belum difahami secara benar oleh  pejabat pemerintah daerah otonom, sehingga keinginan negara untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat agar optimalisasi pemberdayaan masyarakat didaerah serta pemerataan pembangunan dapat terwujud, namun sampai sekarang keinginan tersebut belum dapat terlaksana secara optimal, bahkan beberapa wilayah merasa di anaktirikan, karena pembangunan diwilayah tersebut belum mendapat prioritas yang memadai sesuai kepentingan daerah, padahal kewenangan telah didelegasikan kepada pemerintah daerah otonom.  Banyak kewajiban pemerintah daerah otonom yang tidak terselenggara dengan baik, sipil tidak berkonsentrasi pada kewajibannya dan terkesan kewajiban tersebut berada diluar kemampuan pengelolaannya, sehingga perencanaan pembangunan hanya sebatas rencana yang sulit untuk diwujudkan.   Dalam hal ini dapat diambil satu contoh nyata, dimana salah satu kewajiban pemerintah daerah otonom untuk “melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang tertuang pada pasal 22 undang-undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah, belum dapat menunjukkan hasil yang nyata, terbukti diberbagai wilayah masih terjadi konflik horizontal, tawuran antar kelompok, bahkan masih ada ide separatis yang berkembang sampai pada perlawanan bersenjata, sebagai bentuk rendahnya pemahaman wawasan kebangsaan. Pembangunan nasional masih belum dapat dapat menjangkau seluruh wilayah, menyebabkan beberapa wilayah masih merasa belum diperlakukan adil dalam kesatuan nasional, karena hasil pembangunan belum dinikmati dan belum menyentuh rakyat di beberapa wilayah.
       Rakyat hanya mengetahui bahwa hasil kekayaan alam dari wilayah mereka sebagian telah diserahkan kepada pemerintah pusat, sehingga rakyat menilai pemerintah pusat tidak bertanggungjawab melaksanakan pemerataan pembangunan.   Masyarakat dibeberapa daerah menilai bahwa pemerintah pusat telah menyalahgunakan kekuasaan, dengan mengambil hasil kekayaan dari daerah, tetapi prioritas pembangunan dilakukan diwilayah lain,  bahkan mereka merasa karena etnisnya yang berbeda menjadi dikesampingkan.    Pemerintah daerah yang menyadari situasi seperti ini  belum  secara optiomal memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa tugas pembangunan didaerah, sebagian besar telah menjadi tanggungjawabnya, sehingga rakyat tidak mengetahui alasan mengapa pembangunan belum terlaksana dengan baik, sementara pemerintah daerah menghadapi berbagai permasalahan dalam pelaksanaan.  Selain itu pemerintah daerah  belum mampu mengajak rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan didaerah, karena berbagai alasan.
       Situasi dan kondisi ketidakpuasan rakyat didaerah dimanfaatkan oleh fihak lain melalui penyusupan untuk mempengaruhi opini rakyat, menempatkan para ahli propaganda yang mahir mengemas permasalahan yang berkembang menjadi permasalahan yang menjadi bahan dan pemicu pertentangan dan konflik,  sampai kepada tumbuhnya ide separatisme.   Para aktor penyusup, baik secara langsung atau melalui LSM yang tidak netral, membuka kekurangan dan keterbatasan pemerintah sebagai isu yang disebarkan secara negatif, sehingga rakyat menilai bahwa para elit politik tidak pernah berfikir bagi kemajuan bangsa, hanya mementingkan diri pribadi dan golongannya, yang menyebabkan turunnya dan berkurangnya rasa kebanggaan sebagai bagian dari rakyat Indonesia.  Mereka dipengaruhi untuk berfikir bahwa akan lebih baik bila menjadi sebuah negara bangsa tersendiri, lepas dari Indonesia, karena mereka juga dipengaruhi bahwa dengan kekayaan alam wilayahnya, cukup memiliki kekuatan untuk menjadi sebuah negara.
       Banyak kebijakan negara dinilai belum mencerminkan kebijakan nasional, tetapi hanya mencerminkan kebijakan berorientasi “jawa”.   Mereka yang berada diluar jawa menilai semua kebijakan hanya mempertimbangkan Jawa, sebuah sikap yang menentang dari visi integrasi yang digagas oleh para pendahulu pendiri negara.  Kebijakan yang ditetapkan sebagian besar hanya memperhitungkan kondisi Jawa, Madura dan Bali.  Belum secara detil mempertimbangkan wilayah lain yang bila dihadapkan dengan sarana-prasarananya dan ketersediaan infrastruktur masih sangat terbatas dan berbeda dengan kondisi di P. Jawa.  Sebagai contoh pada subsidi BBM, menurut mereka yang berada didaerah pedalaman, ada atau tidak ada subsidi, harga BBM sudah sangat mahal dan mereka berfikir apabila kebijakan ini dapat diterapkan diseluruh wilayah Indonesia, maka di Wamena, kiwirok, Kerom, Sangihe, Morotai, Labuha dan daerah lainnya, mestinya dapat menggunakan premium dengan harga sama yaitu Rp.4.500,-.  Pada kenyataannya diwilayah tersebut harganya bisa mencapai 3 sampai 5 kali lipat harga di Jawa. Hal inilah yang dinilai bahwa banyak kebijakan yang hanya berorientasi bagi wilayah jawa.
c.      Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensional, sampai sekarang masih  dirasakan oleh rakyat dan masih belum dapat menghapuskan berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat  Indonesia.           Krisis tersebut telah memicu memunculkan gerakan reformasi[2] yang mengusung beberapa tuntutan diantaranya penegakan supremasi hukum, penghormatan hak azasi manusia dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, desentralisasi pemerintahan melalui otonomi daerah, kebebasan pers serta kehidupan yang demokratis.    Beberapa agenda reformasi telah dapat terlaksana meskipun belum sempurna, namun masih banyak yang masih bertahan, bahkan menjadi lebih parah diantaranya adalah Korupsi, kolusi dan  nepotisme.   Korupsi semakin merajalela, melibatkan berbagai strata, apalagi dengan desentralisasi pemerintahan, otonomi yang diharapkan dapat mempercepat pemberdayaan rakyat, ternyata justru menambah wilayah korupsi.    Korupsi merupakan salah satu sikap yang mengingkari semangat Nasionalisme, karena hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Kolusi juga masih berkembang dan banyak kasus yang muncul dipengadilan sebagai akibat dari praktek kolusi.   Bahkan nepotisme semakin berkembang, sebagai upaya untuk memuluskan jalan agar korupsi dan kolusi dapat berlangsung mulus.   Penempatan jabatan, sangat dipengaruhi oleh “Rezim”, tidak mempertimbangkan “kinerja dan prestasi yang baik” tetapi mempertimbangkan “ mereka yang mau diajak kerjasama atau mereka sebagai kerabat” meskipun mereka yang dipilih adalah mereka yang “tidak memiliki kompetensi,  tidak memiliki visi membangun dan tidak memiliki integritas ”.   “ Kesalahan” dalam agenda ini mengakibatkan lambatnya pembangunan, karena proses menejemen dalam organisasi tidak diawaki oleh mereka yang berkemampuan dibidangnya.   Banyak kelompok masyarakat yang putus asa dan memilih memanfaatkan para rentenir yang pada akhirnya justru menjerat leher yang pada ujungnya masyarakat semakin terpuruk dalam kemiskinan.
3.      Peran TNI dalam proses mewujudkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme dilingkungan masyarakat.
       Wawasan kebangsaan bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat kebangsaan, seperti yang tercermin pada semangat perjuangan melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan, mendorong terwujudnya kehidupan yang harmonis, menjaga keutuhan bangsa, mendorong tercapainya cita-cita dan tujuan nasional[3].    Organisasi militer saat ini menjadi satu-satunya institusi yang bersifat nasional yang tidak mengenal suku bangsa dan etnis dalam menempatkan awaknya dalam organisasi.   Kondisi ini memungkinkan TNI untuk dapat mengembangkan wawasan kebangsaan dalam organisasinya.    Namun demikian, implementasi kedalam masyarakat tidak akan semudah seperti penerapan dalam organisasinya sendiri, karena penerapan di masyarakat dan lingkungan masih menghadapi berbagai permasalahan seperti yang diuraikan pada pasal terdahulu.   Namun demikian sebagai organisasi yang bersifat nasional, TNI akan berusaha semampu organisasinya untuk dapat mendukung kebijakan pemerintah dalam hal ini untuk mewujudkan wawasan kebangsaan dan Nasionalisme tidak hanya bagi organisasinya, tetapi juga kepada masyarakat dan lingkungannya.  
         Dalam pelaksanaannya, implementasi 4 pilar berbangsa dan bernegara tetap membutuhkan sebuah kondisi yang memungkinkan agar setiap institusi dapat menyebarluaskan kebijakan negara kedalam masyarakat.   Proses awal yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan menejemen yang akuntabel, dimulai  dari penyusunan rencana yang terperinci, sehingga dapat dipedomani oleh setiap satuan pelaksana.   Sebelum menentukan pelaksana dalam pengorganisasian, terlebih  dulu TNI  harus menyiapkan Sumber daya Manusia sebagai pelaksana dengan memberikan pembekalan pengetahuan dan metode yang akan diterapkan nantinya di masyarakat.    Pada proses pelaksanaan, tidak dapat dilakukan secara simultan diseluruh wilayah, karena setiap wilayah menghadapi kondisi yang berbeda, sehingga hanya pada wilayah yang kondusif yang sudah dapat berkonsentrasi untuk menerima pengaruh dan ajakan positif dalam mengembangkan wawasan kebangsaan dan meningkatkan jiwa nasionalisme.   Pada saatnya program dilaksanakan, TNI berkewajiban untuk menetapkan bahwa program harus akuntabel, dengan perencanaan anggaran yang jelas, pentahapan yang benar, penetapan sasaran pencapaian program yang jelas agar proses pengawasan program dan evaluasi hasil pelaksanaan program dapat terlaksana dengan baik serta program dapat dipertanggung-jawabkan.

4.      Koordinasi dan kerjasama antar Institusi. 
         Untuk tercapainya pelaksanaan program mewujudkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme, membutuhkan suatu kondisi yang memungkinkan, sehingga perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk mengurangi dan meneliminir tantangan yang masih ada.  Berbagai tantangan yang disampaikan pada pasal 2 diatas, harus dilakukan koreksi dan dilakukan perbaikan.    Menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi secara tuntas, jangan hanya yang terlihat dipermukaan saja, tetapi harus selesai sampai kepada akar permasalahan.   Setiap institusi yang bertanggungjawab terhadap permasalahan yang muncul didaerah harus dapat menuntaskan permasalahan sesuai wilayah tugas masing-masing dan menggerakkan daerah sesuai dengan kebijakan nasional dibidangnya.   Beberapa kondisi yang harus diperbaiki, karena akan menentukan keberhasilan program ini, harus dapat dieliminir yaitu :  
         a.      Menyelesaikan berbagai permasalahan dan konflik sosial di masyarakat secara tuntas, jangan sampai meninggalkan residu yang akan memunculkan permasalahan yang sama dimasa mendatang.
         b.      Para elit Politik dan pejabat negara, harus dapat melupakan kepentingan pribadi dan golongannya, memprioritaskan perhatiannya kepada kepentingan bangsa dan negara.   Bila dapat diterima, setiap pejabat negara wajib melepaskan jabatan  dan keanggotaan partai, sehingga tanggungjawab jabatannya hanya kepada negara, tidak lagi dipengaruhi oleh kebijakan partai, yang hanya akan mengurangi keseriusannya dalam mengelola negara dan menghilangkan persaingan antar kementrian dan institusi, meningkatkan loyalitas kepada pimpinan negara dan program nasional.
        c.      Menekan serendah mungkin angka korupsi, dengan langkah langkah yang membangun, diantaranya meningkatkan penghasilan dengan menyetarakan pendapatan pejabat negara dan pegawai pemerintah negara dengan yang diterima oleh para pejabat negara dan pegawai pemerintah di negara – negara dalam satu kawasan.  Menghilangkan praktik kolusi yang merugikan keuangan negara dan mutu pembangunan serta menempatkan awak organisasi sesuai dengan kebutuhan kompetensi jabatannya, sehingga pertimbangan pemilihan awak organisasi  dinilai dari kemampuan, kompetensi, kinerja dan prestasi, bukan karena kedekatan dan yang dapat diajak “bekerjasama” untuk hal yang negatif, agar setiap organisasi dalam negara menjadi organisasi yang maju dan modern yang dapat berprestasi setara dengan organisasi internasional.
        
5.      Kesimpulan.  
         Masih banyak agenda yang menjadi tantangan Bangsa Indonesia dan harus dapat ditemukan jalan keluarnya.   Permasalahan mendasar menyangkut “ kepentingan Nasional” masih belum seluruhnya mendapat perhatian, yang memunculkan problem dalam negeri, namun dinamika mengatasinya hanya bertumpu kepada institusi tertentu.
          Apabila semua tantangan seperti yang disampaikan pada pasal terdahulu sudah dapat diselesaikan dan para elit politik serta pejabat pemerintah mampu menjadi tauladan, niscaya program mewujudkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme melalui 4 pilar berbangsa dan bernegara akan dapat terseleng-gara dengan baik dan secara bertahap sasaran program dapat tercapai.   Namun sebaliknya apabila tantangan yang ada tidak dapat diselesaikan secara tuntas, maka program ini hanya akan sia-sia, karena kondisi kejiwaan masyarakat tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. 
         TNI dalam mengimplementasikan 4 pilar berbangsa dan bernegara kedalam organisasi sendiri tidak menghadapi hambatan, karena saat ini hanya TNI satu-satunya organisasi yang “Nasional” yang dapat menerapkan 4 pilar berbangsa dan bernegara, tanpa pengaruh sosial yang berarti.  Para prajurit TNI  juga harus dapat memberi contoh yang nyata dilingkungan masyarakat melalui penerapan 8 wajib TNI secara konsisten untuk menunjukkan bahwa TNI dimanapun berada memiliki budaya positif yang dapat disosialisasikan dan dapat berpengaruh kedalam kehidupan masyarakat disekitar pangkalan mereka.
Catatan:
Pasal 22 UU RI  nomor 32 tahun 2004, yaitu :
1)               Melindungi masyarakat, menjaga persatuan,kesatuan dan kerukunan nasional,serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)                Meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
3)                Mengembangkan kehidupan demokrasi.
4)                Mewujudkan keadilan dan pemerataan.
5)                        Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.
6)                        Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan.
7)                        Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
8)                        Mengembangkan sistem jaminan sosial.
9)                        Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
10)                     Menembangkan sumber daya produktif didaerah.
11)                     Melestarikan lingkungan hidup.
12)                     Mengelola administrasi kependudukan.
13)                     Melestarikan nilai sosial budaya.
14)     Membentuk dan menerapkan peraturan perundang undangan sesuai dengan kewenangannya.
15)                     Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.






[1] Alex Dinuth, Intelijen dan Nasionalisme dalam Jurnal CSICI ( 2006,192)
[2] Gunawan Sumohadiningrat, mewujudkan kesejahteraan bangsa ( 2009,129)
[3] Gunawan Sumohadiningrat, mewujudkan kesejahteraan bangsa
( 2009,128)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar